Sabtu, 20 Februari 2010
“Saya Tidak Tahu”
Di dalam diskusi bahkan obrolan sehari-hari, banyak terjadinya kegiatan tanya-jawab di dalamnya. Sebagian besar orang menjawab pertanyaan-pertanyaan teman diskusinya dengan mudah saja, tanpa didasari sumber dan alasan yang sudah terbukti kebenarannya untuk mendukung argumen tersebut. Hal ini tentu tidak menjadi masalah ketika dalam diskusi tersebut bertujuan untuk saling bertukar pendapat atau hal yang dibicarakan tidak penting, tetapi menjadi masalah ketika pertanyaan yang dilontarkan di dalam diskusi adalah pertanyaan sederhana yang sulit, contohnya saja seperti “Apakah boleh menyikat gigi ketika berpuasa?” atau “Boleh tidak kita mengucapkan selamat untuk teman yang beragama lain terhadap hari besar mereka?”. Hanya ada tiga kemungkinan seseorang untuk menjawab pertanyaan yang tidak diketahuinya. Pertama, berbohong, perbuatan ini sungguh tidak baik dan apalagi dalam bidang agama merupakan suatu dosa besar. Kedua, menduga-duga atau mengira-ngira, mungkin karena kurangnya pengetahuan yang dimiliki atau pengetahuan tersebut tidak berdasarkan sumber yang pasti. Perbuatan ini beresiko menjadi perbuatan salah dan dosa, di dalam QS. al-Hujurât [49]: 12 dan surah an-Najm [53]: 28 yang mengatakan bahwa sebagian dari sangkaan adalah dosa dan sangkaan tidak bermafaat sedikit pun bagi kebenaran. Ketiga, dengan menjawab “Saya tidak tahu”, dengan jawaban ini kita tidak perlu menanggung resiko untuk berdosa dan si penanya dapat bertanya kepada yang lebih tahu atau mencari referensi untuk menjawab pertanyaannya secara pasti, sehingga jawaban yang didapat memiliki bukti kebenaran yang nyata serta tidak menimbulkan kesalahan-kesalahan pengetahuan lain yang menjadi akan atas kesalahan berikutnya. Banyaknya para pemuka agama, dosen, ataupun orang yang mendapat kepercayaan pada masyarakat lainnya bersifat subjektif dalam menjawab sebuah pertanyaan. Akibatnya banyak masyarakat yang tidak kritis percaya begitu saja atas jawaban dengan sumber tak jelas tersebut dan melakukan hal-hal ganjil yang mengganggu masyarakat lainnya. Misalnya saja pernah di dalam suatu desa ada kejadian mengenai masjid yang tidak mau memakai speaker saat adzan karena menurut seorang yang digelari panggilan udztad oleh penduduk tersebut, melarang hal itu dengan alasan di jaman nabi adzan tidak memakai speaker. Berbagai hal seperti ini tentu mengganggu banyak masyarakat sekitar, sehingga penting sekali sikap objektif dalam menjawab segala pertanyaan yang ada. Walaupun jawaban “Saya tidak tahu” terkesan memalukan dan tidak meningkatkan gengsi, jawaban ini dapat melatih kita untuk bersifat jujur dan bijaksana Dengan mengakui bahwa diri kita tidak mengetahui suatu permasalahan akan menimbukan rasa ingin tahu yang besar di pihak yang bertanya maupun yang ditanyakan sehingga terlatih untuk bersifat kritis dalam mencari pengetahuan yang dipertanyakan. Imam Mâlik ra. berkata: “Ilmu agama hanya tiga, (1) ayat yang jelas, (2) sunnah yang shahih, dan (3) ucapan ‘Aku tidak tahu.’” Bahkan seorang ulama ketika ingin meneliti arti satu kata dalam al-Qur’an saja harus mempertimbangkan apa yang diistilahkan dengan al-itimâlât âl-‘asyr, yakni sepuluh kemungkinan yang harus dipilah untuk menelusuri arti ayat tersebut. Memang terdengar sangat sulit untuk menemukan jawaban yang benar dari suatu pertanyaan, tetapi dengan bukti-bukti yang kuat atas jawaban tersebut, akan muncul satu kebenaran yang menuju pada kebaikan universal. Jawaban sederhana dari sebuah pertanyaan akan membuat landasan kebenaran untuk argumen-argumen berikutnya, sehingga argumen tersebut memiliki bahan dasar yang pasti. Bisa dibayangkan apabila pada suatu pengetahuan memiliki dasar yang salah, tentu penelitian berikutnya atas pengetahuan itu akan salah terus-menerus hingga akhir,Tidak mau menjawab atas pengetahuan yang belum kita mengerti sepenuhnya bukan berarti menyembunyikan pengetahuan yang ada. Kita dapat menjelaskan semua pengetahuan yang kita miliki serta sumbernya dengan merinci sumber-sumber yang jelas maupun tidak atau tetap berkata “Saya tidak tahu” dengan harapan penanya dan yang ditanyakan mendapat jawaban lain untuk dibandingkan. Risiko salah yang di dapatkan pun akan berkurang, bahkan dalam sabda Nabi saw. yang disampaikan oleh ‘Abdullâh bin Ja’far, “Yang paling berani berfatwa diantara kamu adalah yang paling berani terhadap nerakaBukan saja kita bisa salah atau keliru dalam menjawab, kita juga bisa lupa.Dengan segala akibat ini, jawaban “Saya tidak tahu” menjadi jawaban paling bijaksana ketika mendapat pertanyaan yang berpengaruh pada kehidupan seseorang atau ilmu pengetahuan dan kita benar-benar tidak tahu atau hanya tahu beberapa. Tentunya dengan ini kita dapat membuang sikap sombong dan ingin dipuji kita serta fokus pada mencari kebenaran pengetahuan yang hakiki.
0 comments:
Posting Komentar