Rabu, 15 Desember 2010

I and Thou, Martin Buber

Pemikiran Martin Buber bercerita mengenai relasi manusia-manusia, manusia-alam, manusia-soul (Tuhan, dsb) yang merupakan sumber kebahagiaan. Saya menyebut kebahagiaan, bukan eksistensi, hanya karena kata eksistensi keliahatannya agak menjijikan bagi saya, dan rumit bagi orang non-filsafat. Ini buku bagus yang bisa dijadikan dasar untuk orang yang ingin berpikir luas dan mencari kebahagiaan yang sesungguhnya.
Dan lagi2, demi memakai tugas eksis yang tak terpakai kembali dan demi memenuh2kan blog saya. Jadi saya masukan saja.


I AND THOU

Dalam bukunya, Martin Buber mengambil contoh tree sebagai sesuatu yang hidup dan mudah untuk direlasikan. Tree yang dimaksud ini sendiri memiliki kualitas yang baik sebagai pohon, yang berarti baik I maupun Tree tersebut dapat sama-sama bersedia menjalin relasi untuk mengeksiskan diri. Dalam Tree sebagai Thou, batasan-batasan yang menjadi penghalang diantara mereka sudah tidak ada lagi, relasi diantara mereka adalah eksistensi mereka, dimana I dan tree merupakan kesatuan jika dilihat dari eksistensi mereka tersebut. Tanpa adanya relasi tersebut tree itu hanya akan menjadi it, yang dimana ia tidak berarti bagi eksistensi sang subjek, hal tersebut dapat menjadi sebuah kerugian bagi subjek itu sendiri, karena dengan banyak membuat it sebagai thou, ia akan membuat dirinya sendiri lebih eksis, yang juga berarti lebih bahagia. Tree merupakan contoh penghubung yang bagus untuk menggambarkan thou, ia adalah makhluk hidup yang efek timbal baliknya paling tidak secara langsung dibanding makhluk hidup lainnya, ia mudah dinikmati karena tubuhnya besar dan kokoh, tak acuh jika disiksa, dan tak pernah menyiksa apapun dengan sengaja, intinya, mudah serta menyenangkan untuk membangun relasi dengan mereka.
Dalam relasi it sebagai thou ini tidak seharusnya ada bagian dalam thou yang dibenci oleh subjek. Baik kenangan (yang masih dikenang) mengenai thou tersebut, bagian tubuhnya, pengetahuan tentangnya, dsb. Mungkin jika diumpamakan secara ekstrem, bila ada seorang manusia yang sangat kita cintai tapi ia memiliki tumor yang dapat menghancurkan hidupnya, maka tumor tersebut bukan merupakan kesatuan dari thou atau dirinya. Yang dimaksud disini bukan menyatakan thou sebagai bagian, melainkan ada beberapa bagian-bagian yang tidak bisa dianggap kesatuan dari thou tersebut. Kita tidak bisa membangun relasi it sebagai thou jika kita masih membenci sesuatu yang merupakan kesatuannya, misalnya membenci mata sipitnya, atau sifat PDnya. Membangun relasi I-thou dengan manusia jauh lebih sulit dan beresiko dibanding menjalin relasi tersebut dengan pohon. Hanya saja karena memang lebih sulit, hasilnya juga akan lebih memuaskan, hal ini terjadi karena manusia memiliki timbal balik yang lebih nyata, lebih baik, dan lebih membahagiakan dibanding pohon.
Relasi I-thou dengan alam bukan merupakan hasil imajinasi atau hasil dari perasaan kita saat itu. Bukan karena kita sedang bahagia lalu kita dapat menikmati bagian dari alam tersebut, atau juga bukan karena kita membayangkan mereka bicara atau bermain dengan kita. Relasi tersebut bagai sebuah hubungan materi serta rohani yang pada intinya dapat memberi ketenangan jiwa. Bayangkan betapa melegakannya jika di dalam hati kita bertumpuk segala macam emosi buruk lalu kita menghilangkannya karena ada orang yang sangat kita sayangi, bukan dengan marah kepada mereka melainkan dengan membuka diri kita apa adanya di hadapan mereka. Yang ditekankan disini bukan membuka diri dengan ‘curhat’ secara lisan, melainkan secara sadar. Kita tidak bisa membangun relasi I-thou dengan makhluk-makhluk mati karena mereka tidak sadar akan adanya kita. Dengan demikian, semakin besar kesadaran yang dapat menenangkan jiwa bagi I maupun thou atau mungkin masih setingkat dengan It yang memiliki potensi untuk menjadi thou, semakin besar adanya relasi itu.
Tree yang dimaksud bukan jiwa yang ada di dalam pohon itu ataupun makhluk-makhluk gaib yang ada di dalam / merupakan pohon itu, tetapi ia adalah tree itu sendiri. Martin Buber menggambarkan tree tersebut dengan bagian-bagian serta lingkungan yang dapat mendukungnya menjadi thou bagi I itu sendiri. Bagaimanapun kondisi serta situasinya ia tetap akan menyukai tree tersebut selama ia masih merupakan suatu kesatuan dan ia masih tree yang mirip dengan yang ia pikirkan sekarang. Dalam ranah waktu, hubungan I dengan thou ini hanya berlaku untuk sekarang, karena thou bukan merupakan ingatan yang berarti masa lalu dan ia juga bukan merupakan impian yang berarti masa depan, ia adalah suatu relasi yang baik. Jadi relasi antara I dengan thou merupakan suatu kesuksesan kehidupan bagi I dengan thou itu sendiri. Bukan berarti dengan satu relasi tersebut kita berarti telah sukses dalam hidup, akan tetapi hal ini menggambarkan bahwa kehidupan adalah suatu relasi, baik relasi kita dengan alam, manusia, maupun hal-hal spiritual.
Relasi I dan thou dapat diperoleh dengan saling mempercayai dan memberkati satu sama lain. Ada suatu tingkatan spesial pada kedua hal tersebut dimana ia merubah it menjadi thou. Perubahan tersebut ditandai dengan adanya keindahan dari thou tersebut, sebuah keindahan yang hanya bisa dilihat oleh I yang membangun relasi dengannya. Seperti contoh pada tree tadi, subjek biasa hanya akan memandang pohon tersebut sebagai benda biasa saja, tidak ada kesan yang menyentuh hati darinya, sedangkan subjek yang telah membangun relasi dengannya akan memandang tree tersebut dengan sudut pandang estetis tinggi yang rasanya harus sangat ia jaga dan ia hargai. Hal tersebut tidak berlaku hanya pada penampilan luarnya saja, melainkan bagaimana ia berkolaborasi dengan alam atau lingkungannya, kepribadiannya (untuk manusia atau hewan), dan segala hal yang tetap memberikan keutuhan pada dirinya.
Jadi, tree yang digambarkan sebagai thou ini adalah sesuatu yang spesial bagi subjek yang membangun relasi dengannya. Tree tersebut memiliki nilai estetis yang tinggi baginya dan ia menjadi bagian dari diri subjek tersebut. Tree sebagai thou disini ialah sepenuhnya tree itu sendiri, tidak ada suatu bagian dari dirinya yang menyakitkan atau dihindari subjek tersebut untuk membangun relasi dengannya. Kebahagiaannya (subjek) adalah kebahagiaan thou itu juga, kesedihannya adalah kesedihan thou itu juga, dan begitu pula dengan sebaliknya selama mereka masih menjalin relasi I-thou tersebut, maksud ‘masih’ disini berarti saat ini juga, bukan masa depan ataupun masa lalu. Sehingga, relasi I-thou yang digambarkan pada seorang manusia dan sebatang pohon tersebut adalah bentuk pengeksisan diri dimana hal tersebut merupakan tujuan utama manusia pada umumnya, yaitu kebahagiaan.

Catatan dari Bawah Tanah, Fyodor Dostoyevski

Kumasukan karena kurang kerjaan, memanfaatkan lebih dari tugas eksis yang tak akan terpakai lagi, dan karena pemikirannya bagus, tapi kukira aku tidak menuliskannya dengan bagus, jadi lebih baik anda baca bukunya sendiri, dan saya punya bukunya. (tadi aku, sekarang saya)


Catatan dari Bawah Tanah
Sisi Eksistensialisme The Underground Man:
“Kesadaran yang mana pun juga, sebetulnya suatu penyakit”, sebuah pernyataan yang membandingkan suatu penyakit itu sendiri dengan sebuah kesadaran. Penyakit, pada dasarnya memberikan kesadaran lebih baik karena rasa sakit itu sendiri daripada ketika manusia tidak sedang menderita sakit apapun. The Underground Man juga menyatakan dirinya ingin menjadi serangga, entah agar ia dapat menerima lebih banyak rasa sakit karena serangga pada dasarnya memang sering disakiti, atau karena ia menyatakan bahwa hewan memiliki kesadaran yang amat rendah sehingga rasa sakit itupun tidak berpengaruh besar pada kesadaran mereka. Makin tinggi kesadaran seseorang maka ia akan makin sanggup untuk merasakan yang “baik dan indah”. Rasa atau pengetahuan ini dapat menimbulkan perasaan mampu melakukan perbuatan buruk yang merupakan kontra dari pengetahuan baik dan indah tersebut, tetapi dalam waktu yang bersamaan juga timbul perasaan bahwa perbuatan buruk tersebut tidak boleh terjadi. Sehingga makin sadar diri seseorang, ia juga akan makin menderita karena rasa sakit yang ditimbulkan ooleh pengetahuan akan yang baik dan indah tersebut. Di dalam yang baik dan indah itu juga terdapat suatu pengetahuan bahwa segala hal yang terjadi bukanlah sesuatu yang kebetulan, sehingga rasa untuk melawan penyakit/cacat itu hilang sama sekali. The Underground Man juga menyatakan bahwa di dalam penderitaannya atas rasa sakit itu ia juga menikmati semacam kenikmatan aneh dan penuh rahasia. Ia menggambarkan suatu perbuatan buruk yang senang dilakukannya padahal ia tahu itu buruk dan menjijikan bagi dirinya sendiri, dan hal tersebut tidak bisa ia halangi keterjadiannya karena ia telah mencapai titik maksimal dari usahanya bagi dirinya sendiri untuk mencegahnya. Hal ini menggambarkan sebuah ketetapan hukum alam yang tidak bisa dicegah olehnya, dan akhirnya ia nikmati penderitaan itu karena ia tahu tidak ada jalan keluar dari kesadaran kejatuhan dirinya sendiri yang sangat dalam itu. dapat disimpulkan bahwa menurutnya kita dapat memperoleh kenikmatan dari keputusasaan yang terkandung kenikmatan-kenikmatan yang paling dalam, terutama kalau kita sadar sekali bahwa keadaan kita tidak bisa tertolong lagi. Setiap penderitaan, jelasnya lagi, akan menimbulkan rasa dendam, ia menggambarkan bahwa setiap dendam itu sebenarnya tertuju pada dendam terhadap hukum alam. Baik orang yang memberi penderitaan maupun yang mendendam, itu semua merupakan hukum alam yang memang harus terjadi.
“Erangan ini (sakit gigi) mengutarakan kesadaran bahwa Anda tak punya musuh yang harus Anda hukum”. Dalam contoh mengenai sakit gigi ini, ia menggambarakan bahwa sebagaimanapun kita kesalnya, menginginkan gigi ini berhenti untuk sakit baik dari keinginan dari diri sendiri maupun dari orang lain, gigi tersebut akan tetap menyakiti kita sebagai suatu ketetapan dari hukum alam yang harus terjadi. Dalam erangan-erangan tak berguna yang tetap akan kita lakukan itu, akan membawa kita pada pengakuan dan kerendahan yang di dalamnya terkandung nikmat paling lezat. Hal ini merupakan sebuah bentuk interaksi pada orang lain dimana kita meminta-minta banyak perhatian ataupun pertolongan orang lain tanpa kita merasa malu dengannya karena telah ditutupi oleh rasa sakit tersebut. Dengan kata lain, ia puas telah dapat memberi tahu setiap orang segala hal yang ia rasakan, walaupun segala hal tersebut adalah rasa sakit yang menyentak-nyentak.
“Akal tidak lebih dari akal dan hanya dapat memenuhi kebutuhan aspek rasional sifat manusia, sedangkan kemauan adalah penjelmaan seluruh kehidupan.” Ia memberi contoh pada kehidupan yang bisa diketahui sebab akibatnya bagaikan operasi matematika. Pada akhirnya hal ini dapat menimbulkan hilangnya kebebasan manusia karena ia telah mengetahui segala resiko, segala akibat (dengan rinci) yang akan ia tanggung setiap melakukan suatu perbuatan. Menurutnya juga, jika ada aturan seperti itu manusia malah akan mencoba akibat sebaliknya dari sebab yang ia lakukan untuk membuktikan bahwa dirinya masih memiliki kebebasan. Dengan kata lain hal ini tidak mungkin, karena menurutnya pilihan bebas adalah keuntungan yang paling menguntungkan bagi setiap manusia, yang tidak dapat dimasukkan ke dalam golongan manapun seperti golongan-golongan lain yang bersifat matematis. Dengan kata lain, akal tidak dapat menguraikan semua aspek yang terjadi pada manusia dari segala akibat dari segala sebab yang dilakukannya tersebut. Akal hanya mengetahui apa yang berhasil dipelajarinya (ada hal-hal tertentu yang tak bisa dipelajari, yang berarti The Underground Man ini juga mempercayai hal-hal mistis yang memang tak bisa dijangkau manusia), sedangkan fitrah manusia bertindak secara keseluruhan, dengan segala hal yang terkandung di dalamnya, sadar atau tidak sadar, peduli atau tidak peduli, hal-hal tersebut akan tetap ada. Akan tetapi tentu, untuk hal-hal mudah dan umum seperti manusia yang terpelajar akan menjadi manusia yang sukses di masa depan dibanding yang tidak masih bisa dibuktikan secara matematik.
“Karena sifatnya yang tidak kenal terima kasih, rasa kesal, manusia masih akan mengakali kita.” Sebuah pernyataan mengenai penggambaran kebutuhan manusia yang paling utama yang disampaikan dengan baik sekali oleh The Underground Man atau dari pemikiran Fyodor Dostoyefsky. Ia memberi contoh bahwa sebagaimanapun manusia terlengkapi kebutuhannya, seperti memiliki kesejahteraan ekonomi, tenggelam dalam laut kebahagiaan, sebegitu rupa hingga ia tak perlu mengerjakan apa-apa kecuali tidur, makan kue, dan menyibukkan diri dengan melanjutkan keturunannya, tapi biarpun begitu manusia tetap tidak akan bahagia hingga ia mendapatkan kebebasannya. “Ia bahkan bersedia mengorbankan kuenya dan dengan sengaja menginginkan sampah yang paling tidak ekonomis, hanya untuk memasukkan unsur fantastisnya yang fatal ke dalam rasa baik yang positif ini.” Hal ini membuktikan bahwa manusia adalah makhluk yang sebenarnya tidak tahan dikuasai, bahkan walaupun ia tetap patuh dalam kekuasaan atas sesuatu tersebut, maka ia akan menjalankannya dengan terpaksa atau ia menjalankannya karena itu adalah pilihan dari kebebasannya sendiri. Darisini kita dapat melihat bahwa manusia akan mematahkan kebahagiaannya demi membuktikan kebenarannya. Ia akan melakukan hal-hal yang konyol dengan sengaja, bahkan kejahatan-kejahatan yang semata karena sifatnya yang tidak mengenal terima kasih, dan lagi hanya untuk membuktikan kebenarannya.
“Aku sependapat bahwa manusia ialah pertama-tama hewan kreatif, yang diciptakan untuk berusaha secara sadar mencapai sesuatu obyek dan melibatkan diri dengan pertukangan—artinya, tak putus-putusnya, dari dulu sampai nanti membuat jalan-jalan baru, kemana pun jalan-jalan ini mengarah.” Dalam pemikirannya yang satu ini, The Underground Man berpendapat bahwa manusia lebih mementingkan usahanya dibanding dengan hasilnya. Manusia boleh saja ambisius untuk mencapai hasilnya, akan tetapi pada akhirnya manusia sadar bahwa ia tidak begitu menginginkan hasilnya dan ingin terus dalam proses usaha itu sendiri. Dalam penjelasan ini, The Underground Man mencoba menjelaskan mengapa manusia menyukai perusakan dan kekacauan. Karena menurutnya “secara naluri ia takut mencapai sasarannya dan menyelesaikan bangunan yang sedang ia kerjakan”, karena siapa tahu dari jauh seseorang begitu mendambakan tujuannya dan ternyata setelah dilihat dan dirasakan dari dekat, dia tidak begitu menyukainya. Sama seperti pernyataannya berikut: ”manusia takut pada kepastian matematik, kita akui bahwa yang tak putus-putusnya dicari manusia ialah kepastian matematis,.., tapi aku yakin ia takut akan berhasil. Ia merasa bahwa jika ia sampai memperolehnya maka tidak tidak akan ada lagi yang tersisa baginya untuk dicari.” Inti dari pemikiran eksistensi bagian ini adalah manusia menjadi eksis pada proses pengusahaannya, dan ia sebetulnya tidak senang kalau yang ia usahakan itu berhasil, tentu saja ketidaksenangan tersebut dirasakan setelah manusia mengerti esensi dari tujuannya tersebut, sehingga “Penderitaan ialah sumber kesadaran satu-satunya.”
“Engkau membanggakan kesadaran, tetapi kau tidak pasti tentang pendapatmu karena biarpun otakmu bekerja, hatimu gelap dan busuk, sedangkan kesadaran yang penuh dan murni tidak bisa dimiliki tanpa hati yang bersih.” Tentu saja, dalam pertanyataan ini The Underground Man memposisikan kesadaran sebagai sesuatu yang membahagiakan, sehingga dalam pernyataan sebelumnya yang dimaksud dengan penderitaan tersebut tidak bertentangan dengan kebahagiaan. Inti pemikirannya adalah penderitaan bisa dijadikan kenikmatan atau kelezatan aneh yang tidak bisa dicampur-baurkan dengan kejahatan karena orang yang jahat, dusta, dsb, tidak akan pernah bisa menikmati esensi dari penderitaan, lalu juga penderitaan merupakan bahan pembentuk kebahagiaan, walaupun ia sama sekali tidak menyebutkan sepatah katapun tentang kebahagiaan, tapi itulah inti pemikirannya dari penalaran saya pribadi. Dan lagi, The Underground Man memiliki kecenderungan untuk tidak terikat pada apapun, bukan karena ia tak ingin terikat, tapi karena ia tahu apa yang jadi resikonya, jadi memang seperti yang ia katakan, ia pintar, ia tahu ia pintar, dan itu tidak begitu menguntungkannya.

Minggu, 05 Desember 2010

Terima kasih

Sudah satu tahun setengah aku di UI, dan aku masih mencari kebahagiaan yang sama seperti yang kudapatkan dulu, sayang aku belum menemukannya hingga saat ini, tapi yang kulihat, Allah sengaja membiarkanku untuk mencarinya tanpa memberi pikiran untuk menyerah.

Tepat saat aku kelas 11, aku memilih tempat duduk yang paling depan, dekat dengan meja guru, aku sengaja memilih tempat itu agar tidak ada satupun yang berniat duduk denganku, karena yah... cowok tidak suka tempat duduk depan yg dekat guru kan? dan rencanaku berhasil.
Aku masih belum bisa menyadari eksistensiku waktu itu (berfilsafat. red) intinya aku masih polos (bocah) sekali, mudah untuk ditipu dan mudah untuk tersinggung. Aku mengenal persahabatan yang sangat bagus, berbeda dengan masa SMP atau SDku dulu. Di paskibraku, aku seperti punya kakak yang sangat perhatian denganku, satu hal yang sebelumnya belum pernah aku miliki, lalu aku punya teman-teman yang siap berkorban untukku, tanpa sadar aku sangat mencintai mereka, padahal aku masuk paskib ini karena kecelakaan dan sampai aku lulus aku tetap rutin mengikuti pertemuan ataupun latihannya, sesuatu yang jarang aku lakukan.
Sampai ke kelas 11 ini aku berniat untuk tidak berteman dengan siapapun kecuali mungkin anak2 paskib. Jujur saja, banyak sekali sakit hati yang kuhadapi karena memang akibat kebodohanku sendiri. Disebelah tempat dudukku ada sheilla dan lusi, lalu dibelakangku ada sekar dan nindya. Aku mudah bergaul dengan sheilla dan lusi karena pada dasarnya wanita berjilbab itu tidak berisiko untuk dijadikan teman karena mereka baik, dewasa, dan bisa diandalkan (untuk hal2 baik juga tentunya). Lalu aku tak tahu apa yang Allah rencanakan untuk menyempurnakan kebahagiaan atas persabatanku, dan munculah si rahmad itu. Sepertinya dia sama denganku, polos, tapi dia lebih sering menerima kepahitan hidup jadi dia lebih dewasa dariku. Hal mengerikan yang tak bisa kulupakan (sekarang malah kutulis) dengannya adalah ketika aku sok memarah-marahi dia saat pelantikannya, itu hal paling mengerikan ke-2 setelah pengalaman menulis surat marah kepada seseorang (nah, kutulis lagi, toh aku tidak bisa melupakannya).
Banyak hal luar biasa yang kulalui saat kelas 11 dan 12. Hal yang kukira tidak bisa dimengerti oleh filsus-filsuf barat itu. Mungkin banyak orang menganggap bahwa aku sakit hati ketika dimarah2i kakak kelas ataupun ditampar olehnya, tapi kenyataannya tidak, memang aku takut, tapi didalam sini aku merasa sangat bahagia, apalagi dengan adanya teman-teman yang selalu bersamaku. Itu semua pengalaman di paskibraku selama 2 tahunan dan ditutup dengan ending paling membahagiakan sedunia, sebuah ending yang tidak akan dimengerti oleh orang yang hanya melihat dari luar objek, yaitu paskibraku mendapat juara harapan 1.
Lalu di Sc2 juga aku mempelajari banyak hal, pernah saat wudhu aku terpikir bagaimana jadinya ketika aku keluar dari sini nanti, aku sudah sangat bahagia di sini, aku masih ingin belajar banyak hal lagi dari mereka, tapi toh aku akan keluar, aku akan mencari teman baru dan pengalaman baru yang sama dengan kebahagiaan murni yang kudapat di sini. Mereka, benar-benar aneh dan mengagumkan, mereka tidak sempurna, bukan penemu luar biasa, bukan orang hebat yang luar biasa juga, tapi kesatuan mereka benar-benar bisa mengalahkan apapun, aku belum pernah melihat sebelumnya, penyatuan pribadi masing-masing orang yang saling melengkapi, saling membahagiakan, dan saling memberi kesetiaan. Tentu saja di kesatuan ini hal-hal yang paling penting ternyata adalah guru-guruku sendiri, yang menjadi bearer atas kesatuan itu jika terjadi cekcok ataupun ancaman atas persahabatan kami. Guru2 smavo semuanya luar biasa, semuanya baik2, mengapa bisa begitu ak juga tidak tahu. Aku merasa tidak pantas meninggalkan mereka begitu saja tanpa membalas mereka dengan budi yang setimpal yang tak mungkin bisa kulakukan.
Tapi tentu saja, diatas semua itu haruslah ada Allah dan keluarga, aku belum begitu merasa bersyukur secara spontan (aku memaksakannya tentu). Walaupun begitu tetap saja diantara kami ada hubungan kuat yang tidak kami sadari, kadang2 aku ngeri, membayangkan salah satu dari kami kesakitan atau apa, aku tidak keberatan jika manusia meninggal karena toh memang harus dihadapi, tapi aku harap bukan meninggal yang sakit dan terhina.

Aku bersyukur bisa bertemu kalian, teman-teman paskibra, science 2, dan guru-guruku tersayang. Dan aku juga bersyukur sekali kita berpisah ketika kita sedang bahagia, bukan karena ada konflik atau apa, walau memang aku jadi rindu sekali.

Thank you again :)

Kamis, 02 Desember 2010

Kebahagiaan

Kebahagiaan membuatku menangis, membuatku tak bisa berkata-kata
Kebahagiaan membuatku tak mampu memikirkan yang lain, membuatku lupa akan makan, dan kesenangan duniawi lainnya
Kebahagiaan membuatku rindu, rindu padanya di masa lalu
Kebahagiaan membuatku lelah, membuat energiku habis tak tersisa, hanya untuk bahagia
Kebahagiaan membakar kesombonganku, keegoisanku, juga memberi kebersamaan yang hangat
Kebahagiaan memberiku impian untuk masa depanku, dan kebanggaan pada diriku sendiri hari ini
Kebahagiaan juga membuatku kuat, membuatku bisa mengalahkan diriku sendiri tanpa melawannya

Aku kangen pada kebahagiaan, setelah terpaksa meninggalkannya sekali, ternyata aku tak bisa menemukannya lagi sampai hari ini.
Tapi ternyata kebahagiaanku di masa lalu masih memberiku pengetahuan untuk masa depan, pengetahuan untuk mencarinya kembali dan tidak tertarik pada kesenangan semu untuk meninggalkannya.
Bahkan mencari kebahagiaan membuatku merasa bahagia, membuatku merasa setia pada kenangan-kenangan yang dulu.
Kebahagiaanku terletak pada kebersamaan, dan impian untuk dikejar bersama-sama.