Senin, 22 Februari 2010
Menafsirkan al-Qur'an
Ternyata menafsirkan apa yang dimaksudkan al-Qur'an sangatlah sulit. Bahkan seharusnya al-Qur'an terjemahan yang biasa disebut "al-Qur'an dan terjemahannya" sungguh tidak layak untuk diberi judul demikian, karena biar bagaimanapun, terjemahan al-Qur'an adalah karya manusia yang tidak sempurna, bahkan kalau tidak salah pernah ada ulama hampir dihukum mati karena perkara ini (atau sudah dihukum mati, saya lupa). Berikut ini adalah hal-hal yang harus dipertimbangkan dalam menafsirkan al-Qur'an menurut M.Quraish Shihab (karena saya sudah sebutkan nama, jadi bukan plagiat ya...).
Kandungan al-Qur'an berkisar pada tiga hal pokok yang menjadi tujuan utama kehadirannya: Pertama, masalah akidah, Kedua, masalah syariat, Ketiga, masalah akhlak.
Al-Qur'an sangat kaya dengan makna. Al-Qur'an menurut Sayyidina' Ali ra., "Hammalat Lil-wujuh" (mengandung banyak arti), walaupun redaksinya sangat singkat. Al-Qur'an diibaratkan permata yang memancarkan aneka cahaya, tergantung dari posisi tempat Anda melihat. "Seseorang tidak dinilai sebagai pakar tafsir bila tidak mampu menghidangkan aneka makna yang benar terhadap ayat-ayat al-Qur'an," begitu pandangan pakar-pakar al-Qur'an.
Untuk menetapkan arti satu kata saja harus mempertimbangkan apa yang diistilahkan dengan al-ihtimalat al-'asyr, yakni sepuluh kemungkinan yang harus dipilah berkaitan dengan riwayat-riwayat tentang: (1) makna kata itu; (2) gramatika (nahwu); (3) perubahan kata (sharf). Selanjutnya apakah kata dimaksud itu (4) ambigu (musytarak); (5) kiasan (majaz); (6) mengandung peralihan makna; atau (7) sisipan (idhmar); atau (8) pendahuluan atau pentakhiran (taqdim wa ta'khir), atau tidak mengandung hal-hal tersebut. Selanjutnya perlu juga diketahui apakah ayat itu mengandung (9) pembatalan hukum (naskh); (10) penolakan yang logis (al-mu'ridh al-'aqly) atau tidak.
Hadits didefinisikan oleh ulamanya sebagai segala sesuatu yang dinisbahkan kepada Nabi Muhammad saw., baik ucapan, perbuatan, dan taqrir (pembenaran atas apa yang beliau lihat atau ketahui), maupun sifat fisik dan psikisnya, baik sebelum beliau menjadi nabi maupun sesudahnya.
Tidak semua ucapan, perbuatan, atau pembenaran dari Muhammad saw. dapat dinilai sebagai wahyu dari Allah swt. Bukankah ada di antaranya yang ditegur/diluruskan secara langsung oleh Allah swt.? Bukankah ada pula ucapan beliau dalam hal-hal yang berkaitan dengan urusan dunia yang ternyata meleset sehingga pada akhirnya beliau menyatakan, "Kalian lebih mengetahui (daripada aku) tentang urusan dunia kalian?"
Memang al-Qur'an surat an-Najm [53]: 3-4 menyatakan bahwa beliau, tidak berbicara dari hawa nafsu/kepentingan beliau, tetapi (apa yang diucapkannya) adalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). Ayat ini jika dibaca berdiri sendiri, lepas dari konteks dan lanjutannya, dapat menjadi alasan untuk menyatakan bahwa semua ucapan Nabi Muhammad saw. adalah wahyu, Tetapi bila dipahami bahwa ayat-ayat tersebut tersebut turun dalam konteks sanggahan terhadap tuduhan bahwa al-Qur'an adalah buatan Muhammad, maka tentu saja yang dinyatakan sebagai "wahyu yang diwahyukan" kepadanya itu hanyalah al-Qur'an, bukan semua ucapan beliau. Pandangan ini diperkuat oleh lanjutan ayat tersebut yang menyatakan bahwa: Ia diajar oleh (Jibril) yang amat kuat (QS. an-Najm [53]: 6)
Demikian, hendaknya kita tidak sembarangan lagi dalam menafsirkan al-Qur'an dan menetapkan hukum menurutnya. Wallahu a'lam.
0 comments:
Posting Komentar