Rabu, 24 Februari 2010
Ibuku yang luar biasa, Ayahku yang bijaksana
"Naufal makan!", "Naufal minum jamunya!", "Naufal, ini kaus kaki kamu ya?!!"
Itulah jenis-jenis teriakan yang biasa saya dengarkan dari ibu saya setiap hari. Sering saya berpikir bahwa teriakan-teriakan itu sangat mengesalkan dan mengganggu saya, hingga rasanya saya ingin ikut berbalik marah saja. Semakin dewasa, semakin terasa bahwa saya tidak ingin diatur-atur, padahal sikap saya masih jauh sekali dalam kedisiplinan, bertanggung jawab, dan kedewasaan. Belum lagi dengan adanya semua fasilitas lengkap yang ada di rumah saya, saya menjadi semakin manja, kondisi ini membuat saya malas untuk melakukan pekerjaan sehari-hari yang sederhana tapi penting, sehingga ketidak mampuan saya membeludak, mulai dari memasak, mencuci, mengepel, bahwa menyapu pun saya masih sering salah. Bukan berarti saya tidak tahu bahwa perbuatan saya itu salah, melainkan karena kondisi, entahlah, saya juga tidak mengerti mengapa tubuh saya begitu malas atau tidak berani mengambil jalan menuju kemandirian.
Walaupun begitu, sesekali beliau sangat tidak tega kepada saya sehingga menuruti apa yang saya inginkan. Saya tahu, lebih mudah bagi ibu saya untuk diam daripada marah-marah. Lebih mudah baginya menuruti apa yang saya inginkan dari menolaknya mentah-mentah.
Ayah saya juga, tipe orang keras kepala yang merasa semua pendapatnya adalah benar. Ayah saya tidak pernah menyerah sedikitpun dalam mendidik ibu saya maupun anak-anaknya. Ibu saya pun jadi seseorang yang amat mandiri karenanya. Ayah saya seringkali marah untuk mendidik kami agar "bisa" atau "mampu". Beliau yang menasihati ibu saya agar ibu tidak pernah menyerah dalam menasehati (memarahi) anak-anaknya, karena ayah saya tahu, bahwa apabila kami dibiarkan dalam kesalahan kami akan menyesal nantinya, dan beliau juga tahu bahwa ibu saya adalah orang yang tidak tegaan dan perasa, terutama pada saya mungkin.
Setiap kali saya sendirian di kampus, yang saya pikirkan adalah bagaimana keadaan ibu saya, apakah sekarang beliau ada di rumah dan lain-lain, mungkin ini kerugian besar anak pertama, cenderung lebih manja. Sebenarnya saya menyesal sekali telah merasa sebal setiap ibu saya mengomeli saya, tapi entah kenapa hal itu selalu terulang keesokan harinya. Harapan saya sesungguhnya untuk ibu saya adalah melihat beliau tenang di surga, terdengar kurang ajar memang, tapi saya selalu dibayangi pikiran menakutkan mengenai bagaimana cara-cara beliau untuk menghadapi kematian, bahkan ketika beliau sakit sedikit saja saya khawatir luar biasa yang amat menyiksa hati, tidak ketika ayah saya yang sakit, saya cenderung menjauhinya karena beliau mudah sekali naik darah, apalagi sakit yang sering dideritanya adalah sakit gigi. Pernah suatu kali ibu saya bercerita ia mimpi aneh tentang ruhnya yang ditarik sampai hampir meninggalkan raganya dan tidak terasa apapun selain kedamaian waktu itu, ibu saya marah karena saya terlihat senang mendengar cerita tersebut. Yang saya pikirkan waktu itu adalah betapa bahagianya ibu saya meninggal dalam keadaan seperti itu, berarti Ibu saya dicintai oleh Allah Swt, dan ibu saya pasti sudah sangat bahagia di surga, karena saya tahu bahwa kematian pasti akan datang, dan saya ingin yang terbaik untuk kedua orang tua saya, bahkan dalam doa saya, saya sudah berkata bahwa saya tidak akan sedih dan malah bahagia apabila kematian ibu dan ayah saya begitu damai sehingga menjadi petunjuk bahwa mereka adalah calon-calon penghuni surga.
Ibu saya adalah ibu yang luar biasa, setiap hari bekerja sekaligus mendidik anak-anaknya tanpa mengenal lelah, kasih sayang beliau amat terasa, walaupun beliau sedang marah sekalipun. Sedangkan ayah saya adalah ayah yang sangat bijaksana, walaupun kemarahan ayah saya sering dibenci oleh kami, tapi beliau tanpa menyerah selalu berusaha mengubah pribadi kami menjadi pribadi yang lebih baik. Bahkan beliau mengekang dirinya sendiri dalam keramaian yang sangat disukainya demi keluarganya. Saya tidak yakin saya dapat 100% membahagiakan mereka berdua karena saya tidak "membumi". Ketika kedua orang tua saya ingin melihat saya hidup lama dan sukses berkeluarga, saya malah ingin cepat mati karena tidak ingin melihat mereka meninggal duluan dan tidak ingin membentuk tanggung jawab baru selama berpuluh-puluh tahun lamanya karena memiliki istri dan anak, seperti yang dilakukan kedua orang tua saya. Saya harap kedua orang tua saya bisa saya bahagiakan dengan cara yang berbeda dari yang mereka harapkan, seperti mereka membahagiakan saya dengan cara berbeda dengan apa yang saya inginkan, karena saya tahu kebahagiaan berbeda itulah yang akan lebih manis nantinya.
0 comments:
Posting Komentar