Sabtu, 27 Februari 2010
Buku: M. Quraish Shihab menjawab 1001 soal keislaman yang patut anda ketahui
Banyak muslim dari berbagai kalangan memberi nilai 'excellent' pada buku ini, bahkan sampai menjadi best seller. Di dalam buku ini, M. Quraish Shihab membahas permasalahan islami pada kehidupan sehari-hari yang membingungkan. Contohnya saja pertanyaan dan jawaban singkat seperti:
Tanya :
Bolehkah menyikat gigi setelah imsak karena khawatir ada yang tertelan ?
Jawab :
Bersiwak/menyikat gigi dianjurkan oleh Rasul saw. Dan dilakukan beliau berkali-kali sepanjang hari ketika beliau berpuasa. Menggunakan pasta gigi pun boleh selama tidak tertelan dengan sengaja.
Selain itu, beliau juga memasukkan sumber al-Qur'an dan hadits dengan penafsiran yang sungguh luar biasa sekali. Buku ini patut dimiliki oleh seluruh kalangan orang Islam agar dapat berhati-hati menyampaikan fatwa yang sering kali menjadi bid'ah, sekaligus mengetahui anjuran dan larangan dalam agama Islam. Bahasa yang dikenakan dalam buku ini pun mudah di mengerti dan terpercaya. Buku ini menjelaskan berbagai permasalahan ibadah, penafsiran al-Qur'an dan hadits, muamalah, dan wawasan agama. Dengan sistem tanya dan jawab, para pembaca dapat langsung mencari penyelesaian masalah yang ingin diketahuinya. Sungguh praktis dan bermanfaat bukan?
Teman --> Musuh ?
Dosen saya pernah berkata, "Kamu mungkin masih enak2an aja berteman sama teman2 sekampus, tapi lihat deh nanti, setelah kerja teman kalian itu malah menjadi musuh". Pertamanya saya ga setuju dengan pernyataan dosen saya ini, tapi lama2 kok ada benarnya juga ya?. Malah anak yang awalnya ga dekat atau bisa di bilang kurang akrab (netral di minusin) malah jadi teman yang baik bagi saya, sedangkan teman yang akrab malah cenderung saya benci.
Mengapa hal ini terjadi?, mungkin karena pada saat masih teman sekampus atau sekelas kita selalu memelihara keakraban dan menambah positifnya pertemanan. Tapi setelah berpisah, orang yang dulu jadi teman kita memiliki teman2 baru yang lain, sulit untuk memperhatikan kita karena keadaan, dan cenderung bersikap lebih sinis pada kita daripada sebelumnya. Istilahnya ya, dari 0 (ga kenal) ke 100 (sahabat), dan karena situasi dan kondisi, jadi mundur ke 50, nah... biasanya orang2 sekitar itu melihat perubahannya dari 100 ke 50, alias minus 50, karena yang dilihat minusnya terus, akhirnya terus lanjut ke minus sampai kurang dari 0, alias musuh.
Berbeda dengan anak2 jaman dahulu, karena terbatasnya sarana komunikasi, ketika mereka pisah, mereka benar2 ga ada hubungan komunikasi lagi dan itu karena situasi dan kondisi yang menutup, hal ini mengurangi nilai persahabatan mereka tanpa didasari kebencian. Dan akhirnya ketika mereka bertemu, yang terjadi adalah kangen2an, mengenang masa lalu, dsb., bahkan mereka juga akan seperti itu bila bertemu dengan teman yang mereka tidak sukai semasa kanak2 atau remaja. Lah generasi kita, semuanya bisa jadi musuh dan semuanya bisa terasa mengesalkan.
Mengapa hal ini terjadi?, mungkin karena pada saat masih teman sekampus atau sekelas kita selalu memelihara keakraban dan menambah positifnya pertemanan. Tapi setelah berpisah, orang yang dulu jadi teman kita memiliki teman2 baru yang lain, sulit untuk memperhatikan kita karena keadaan, dan cenderung bersikap lebih sinis pada kita daripada sebelumnya. Istilahnya ya, dari 0 (ga kenal) ke 100 (sahabat), dan karena situasi dan kondisi, jadi mundur ke 50, nah... biasanya orang2 sekitar itu melihat perubahannya dari 100 ke 50, alias minus 50, karena yang dilihat minusnya terus, akhirnya terus lanjut ke minus sampai kurang dari 0, alias musuh.
Berbeda dengan anak2 jaman dahulu, karena terbatasnya sarana komunikasi, ketika mereka pisah, mereka benar2 ga ada hubungan komunikasi lagi dan itu karena situasi dan kondisi yang menutup, hal ini mengurangi nilai persahabatan mereka tanpa didasari kebencian. Dan akhirnya ketika mereka bertemu, yang terjadi adalah kangen2an, mengenang masa lalu, dsb., bahkan mereka juga akan seperti itu bila bertemu dengan teman yang mereka tidak sukai semasa kanak2 atau remaja. Lah generasi kita, semuanya bisa jadi musuh dan semuanya bisa terasa mengesalkan.
Labels:
Filsafat
Rabu, 24 Februari 2010
Kebahagiaan
Bagiku, kebahagiaan bukanlah bisa makan makanan enak sampai puas. Bagiku kebahagiaan bukanlah menjadi pahlawan penyelamat yang dikagumi oleh semua orang. Bagiku kebahagiaan bukanlah cinta pada lawan jenis, bagiku kebahagiaan bukanlah memiliki tubuh yang menawan, bukan, bukan itu.
Bagiku kebahagiaan simpel saja, hidup di rumah sederhana, memiliki tetangga yang sekaligus menjadi teman yang baik, berada di dalam alam indah yang memiliki 4 musim serta flora dan faunanya yang beragam, sedikit makan-makanan yang baik dan sehat dengan memakannya secara beretika dan berestetika, dan memiliki tujuan kecil yang selalu beragam agar kita dapat memiliki alasan untuk berusaha.
Terkadang orang beranggapan dengan memuaskan hawa nafsu secara maksimal dia akan mendapat kebahagiaan secara maksimal juga. Apa dia tidak sadar apabila dia memakan makanan terenak secara terus menerus dia akan bosan sampai akhirnya tak ada makanan yang menurutnya enak yang dapat dimakan?, atau dia ingin otaknya dimanipulasi agar makanan itu selalu menjadi enak untuknya sampai dia tak bisa berhenti makan?.
Hakikat kebahagiaan yang pernah paling menyentuh saya adalah ketika saya dan teman-teman memenangkan juara harapan satu di lomba paskibra. Kami senang bukan karena pialanya, kami senang karena perjuangan keras yang kami lakukan dengan sukahati dan bahagia, ikatan kami yang begitu erat, akhirnya terbalas dan selesai dengan bahagia juga. Pada waktu itu saya tak punya pikiran untuk menangis sedikitpun, tetapi ketika selesai lomba saya bersimbah air mata atas sesuatu yang tidak terlalu saya mengerti, saya mengira bahwa saya menangis karena merasa bersalah atas gerakan-gerakan LKBB tak sesuai yang secara tidak sengaja saya lakukan, ternyata saya menangis karena bahagia sekali.
Itulah kebahagiaan menurut saya, dimana kita bisa berjuang bersama-sama dengan bahagia untuk meraih tujuan bersama, karena pada intinya, kebahagiaan akan menjadi lebih besar kalau kita kumpulkan.
Ibuku yang luar biasa, Ayahku yang bijaksana
"Naufal makan!", "Naufal minum jamunya!", "Naufal, ini kaus kaki kamu ya?!!"
Itulah jenis-jenis teriakan yang biasa saya dengarkan dari ibu saya setiap hari. Sering saya berpikir bahwa teriakan-teriakan itu sangat mengesalkan dan mengganggu saya, hingga rasanya saya ingin ikut berbalik marah saja. Semakin dewasa, semakin terasa bahwa saya tidak ingin diatur-atur, padahal sikap saya masih jauh sekali dalam kedisiplinan, bertanggung jawab, dan kedewasaan. Belum lagi dengan adanya semua fasilitas lengkap yang ada di rumah saya, saya menjadi semakin manja, kondisi ini membuat saya malas untuk melakukan pekerjaan sehari-hari yang sederhana tapi penting, sehingga ketidak mampuan saya membeludak, mulai dari memasak, mencuci, mengepel, bahwa menyapu pun saya masih sering salah. Bukan berarti saya tidak tahu bahwa perbuatan saya itu salah, melainkan karena kondisi, entahlah, saya juga tidak mengerti mengapa tubuh saya begitu malas atau tidak berani mengambil jalan menuju kemandirian.
Walaupun begitu, sesekali beliau sangat tidak tega kepada saya sehingga menuruti apa yang saya inginkan. Saya tahu, lebih mudah bagi ibu saya untuk diam daripada marah-marah. Lebih mudah baginya menuruti apa yang saya inginkan dari menolaknya mentah-mentah.
Ayah saya juga, tipe orang keras kepala yang merasa semua pendapatnya adalah benar. Ayah saya tidak pernah menyerah sedikitpun dalam mendidik ibu saya maupun anak-anaknya. Ibu saya pun jadi seseorang yang amat mandiri karenanya. Ayah saya seringkali marah untuk mendidik kami agar "bisa" atau "mampu". Beliau yang menasihati ibu saya agar ibu tidak pernah menyerah dalam menasehati (memarahi) anak-anaknya, karena ayah saya tahu, bahwa apabila kami dibiarkan dalam kesalahan kami akan menyesal nantinya, dan beliau juga tahu bahwa ibu saya adalah orang yang tidak tegaan dan perasa, terutama pada saya mungkin.
Setiap kali saya sendirian di kampus, yang saya pikirkan adalah bagaimana keadaan ibu saya, apakah sekarang beliau ada di rumah dan lain-lain, mungkin ini kerugian besar anak pertama, cenderung lebih manja. Sebenarnya saya menyesal sekali telah merasa sebal setiap ibu saya mengomeli saya, tapi entah kenapa hal itu selalu terulang keesokan harinya. Harapan saya sesungguhnya untuk ibu saya adalah melihat beliau tenang di surga, terdengar kurang ajar memang, tapi saya selalu dibayangi pikiran menakutkan mengenai bagaimana cara-cara beliau untuk menghadapi kematian, bahkan ketika beliau sakit sedikit saja saya khawatir luar biasa yang amat menyiksa hati, tidak ketika ayah saya yang sakit, saya cenderung menjauhinya karena beliau mudah sekali naik darah, apalagi sakit yang sering dideritanya adalah sakit gigi. Pernah suatu kali ibu saya bercerita ia mimpi aneh tentang ruhnya yang ditarik sampai hampir meninggalkan raganya dan tidak terasa apapun selain kedamaian waktu itu, ibu saya marah karena saya terlihat senang mendengar cerita tersebut. Yang saya pikirkan waktu itu adalah betapa bahagianya ibu saya meninggal dalam keadaan seperti itu, berarti Ibu saya dicintai oleh Allah Swt, dan ibu saya pasti sudah sangat bahagia di surga, karena saya tahu bahwa kematian pasti akan datang, dan saya ingin yang terbaik untuk kedua orang tua saya, bahkan dalam doa saya, saya sudah berkata bahwa saya tidak akan sedih dan malah bahagia apabila kematian ibu dan ayah saya begitu damai sehingga menjadi petunjuk bahwa mereka adalah calon-calon penghuni surga.
Ibu saya adalah ibu yang luar biasa, setiap hari bekerja sekaligus mendidik anak-anaknya tanpa mengenal lelah, kasih sayang beliau amat terasa, walaupun beliau sedang marah sekalipun. Sedangkan ayah saya adalah ayah yang sangat bijaksana, walaupun kemarahan ayah saya sering dibenci oleh kami, tapi beliau tanpa menyerah selalu berusaha mengubah pribadi kami menjadi pribadi yang lebih baik. Bahkan beliau mengekang dirinya sendiri dalam keramaian yang sangat disukainya demi keluarganya. Saya tidak yakin saya dapat 100% membahagiakan mereka berdua karena saya tidak "membumi". Ketika kedua orang tua saya ingin melihat saya hidup lama dan sukses berkeluarga, saya malah ingin cepat mati karena tidak ingin melihat mereka meninggal duluan dan tidak ingin membentuk tanggung jawab baru selama berpuluh-puluh tahun lamanya karena memiliki istri dan anak, seperti yang dilakukan kedua orang tua saya. Saya harap kedua orang tua saya bisa saya bahagiakan dengan cara yang berbeda dari yang mereka harapkan, seperti mereka membahagiakan saya dengan cara berbeda dengan apa yang saya inginkan, karena saya tahu kebahagiaan berbeda itulah yang akan lebih manis nantinya.
Labels:
curhat
Senin, 22 Februari 2010
Menghilangkan sombong sampai 0%?
Salah satu persyaratan untuk masuk surga adalah tidak memiliki kesombongan sekecil-kecilnya. Padahal kita tahu bahwa manusia itu tidak ada yang sempurna dalam bidang apapun (mungkin saya terlalu pesimis, tapi realita yang saya lihat ya memang begini). Dan saya tahu, tanda-tanda kesombongan yang masih tertempel dalam diri saya, sombong itu ingin dipuji, suka membanding-bandingkan diri dengan orang lain (masalah gengsi (nilai, dll) anda tahu kan?), ingin terlihat hebat, dan semuanya masih ada di dalam diri saya (mudah-mudahan benar2 "masih").
Contohnya mengenai facebook, saya coba membanding-bandingkan facebook orang dewasa (dewasa yang sebenar-benarnya, bukan preman, penjahat, mereka itu badannya saja yang dewasa) dengan facebook milik anak remaja. Kebanyakan orang dewasa dalam facebook itu diam, bicara seperlunya saja, atau curhat-curhatan mengenang masa lalu lewat "message", yang pasti semua itu ga norak dan berniat untuk mencari perhatian. Dan coba lihat mulai dari anak kecil ke yang remaja, facebook sudah kayak buku diary, semuanya ditulis disitu (di "Wall"), makin di "like" in sama banyak orang makin bangga, bahkan supaya kelihatan banyak yg nge"like"in malah dengan konyolnya di "like"in sendiri, mulai dari masalah cinta (ini yang parah), orang tua, sekolah, PD banget semua ditulis disitu, yang penting gaya alias norak. Dan ini semua adalah bentuk kesombongan. Dari perbandingan tadi tentu kita bisa melihat bahwa orang dewasa (yang sesungguhnya) mereka lebih banyak ke praktek dari pada ke kata-kata. Mereka lebih keras hatinya, lebih tahu mana yang baik dan benar, lebih bisa mengerti hal itu berguna atau tidak. Sedangkan yang remaja? yang penting gaya, dipuji banyak orang, tampil keren, beken, emosi bisa terlampiaskan.
Saya tahu umur saya 19 th dan saya masih remaja. Tapi ga perlu nunggu sampai 40 tahunan kan untuk memiliki hati yang lebih dewasa, untuk tidak memiliki kesombongan sedikitpun. Saya bercermin, dan hal itu masih ada dalam diri saya. Saya pikir, hal termudah untuk mencapai ini ialah bergaul dengan banyak orang dewasa, ketika saya magang dulu, saya merasa betul ada sesuatu yang buruk sedikit-sedikit meninggalkan saya, yaitu kesombongan.
Contohnya mengenai facebook, saya coba membanding-bandingkan facebook orang dewasa (dewasa yang sebenar-benarnya, bukan preman, penjahat, mereka itu badannya saja yang dewasa) dengan facebook milik anak remaja. Kebanyakan orang dewasa dalam facebook itu diam, bicara seperlunya saja, atau curhat-curhatan mengenang masa lalu lewat "message", yang pasti semua itu ga norak dan berniat untuk mencari perhatian. Dan coba lihat mulai dari anak kecil ke yang remaja, facebook sudah kayak buku diary, semuanya ditulis disitu (di "Wall"), makin di "like" in sama banyak orang makin bangga, bahkan supaya kelihatan banyak yg nge"like"in malah dengan konyolnya di "like"in sendiri, mulai dari masalah cinta (ini yang parah), orang tua, sekolah, PD banget semua ditulis disitu, yang penting gaya alias norak. Dan ini semua adalah bentuk kesombongan. Dari perbandingan tadi tentu kita bisa melihat bahwa orang dewasa (yang sesungguhnya) mereka lebih banyak ke praktek dari pada ke kata-kata. Mereka lebih keras hatinya, lebih tahu mana yang baik dan benar, lebih bisa mengerti hal itu berguna atau tidak. Sedangkan yang remaja? yang penting gaya, dipuji banyak orang, tampil keren, beken, emosi bisa terlampiaskan.
Saya tahu umur saya 19 th dan saya masih remaja. Tapi ga perlu nunggu sampai 40 tahunan kan untuk memiliki hati yang lebih dewasa, untuk tidak memiliki kesombongan sedikitpun. Saya bercermin, dan hal itu masih ada dalam diri saya. Saya pikir, hal termudah untuk mencapai ini ialah bergaul dengan banyak orang dewasa, ketika saya magang dulu, saya merasa betul ada sesuatu yang buruk sedikit-sedikit meninggalkan saya, yaitu kesombongan.
Menafsirkan al-Qur'an
Ternyata menafsirkan apa yang dimaksudkan al-Qur'an sangatlah sulit. Bahkan seharusnya al-Qur'an terjemahan yang biasa disebut "al-Qur'an dan terjemahannya" sungguh tidak layak untuk diberi judul demikian, karena biar bagaimanapun, terjemahan al-Qur'an adalah karya manusia yang tidak sempurna, bahkan kalau tidak salah pernah ada ulama hampir dihukum mati karena perkara ini (atau sudah dihukum mati, saya lupa). Berikut ini adalah hal-hal yang harus dipertimbangkan dalam menafsirkan al-Qur'an menurut M.Quraish Shihab (karena saya sudah sebutkan nama, jadi bukan plagiat ya...).
Kandungan al-Qur'an berkisar pada tiga hal pokok yang menjadi tujuan utama kehadirannya: Pertama, masalah akidah, Kedua, masalah syariat, Ketiga, masalah akhlak.
Al-Qur'an sangat kaya dengan makna. Al-Qur'an menurut Sayyidina' Ali ra., "Hammalat Lil-wujuh" (mengandung banyak arti), walaupun redaksinya sangat singkat. Al-Qur'an diibaratkan permata yang memancarkan aneka cahaya, tergantung dari posisi tempat Anda melihat. "Seseorang tidak dinilai sebagai pakar tafsir bila tidak mampu menghidangkan aneka makna yang benar terhadap ayat-ayat al-Qur'an," begitu pandangan pakar-pakar al-Qur'an.
Untuk menetapkan arti satu kata saja harus mempertimbangkan apa yang diistilahkan dengan al-ihtimalat al-'asyr, yakni sepuluh kemungkinan yang harus dipilah berkaitan dengan riwayat-riwayat tentang: (1) makna kata itu; (2) gramatika (nahwu); (3) perubahan kata (sharf). Selanjutnya apakah kata dimaksud itu (4) ambigu (musytarak); (5) kiasan (majaz); (6) mengandung peralihan makna; atau (7) sisipan (idhmar); atau (8) pendahuluan atau pentakhiran (taqdim wa ta'khir), atau tidak mengandung hal-hal tersebut. Selanjutnya perlu juga diketahui apakah ayat itu mengandung (9) pembatalan hukum (naskh); (10) penolakan yang logis (al-mu'ridh al-'aqly) atau tidak.
Hadits didefinisikan oleh ulamanya sebagai segala sesuatu yang dinisbahkan kepada Nabi Muhammad saw., baik ucapan, perbuatan, dan taqrir (pembenaran atas apa yang beliau lihat atau ketahui), maupun sifat fisik dan psikisnya, baik sebelum beliau menjadi nabi maupun sesudahnya.
Tidak semua ucapan, perbuatan, atau pembenaran dari Muhammad saw. dapat dinilai sebagai wahyu dari Allah swt. Bukankah ada di antaranya yang ditegur/diluruskan secara langsung oleh Allah swt.? Bukankah ada pula ucapan beliau dalam hal-hal yang berkaitan dengan urusan dunia yang ternyata meleset sehingga pada akhirnya beliau menyatakan, "Kalian lebih mengetahui (daripada aku) tentang urusan dunia kalian?"
Memang al-Qur'an surat an-Najm [53]: 3-4 menyatakan bahwa beliau, tidak berbicara dari hawa nafsu/kepentingan beliau, tetapi (apa yang diucapkannya) adalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). Ayat ini jika dibaca berdiri sendiri, lepas dari konteks dan lanjutannya, dapat menjadi alasan untuk menyatakan bahwa semua ucapan Nabi Muhammad saw. adalah wahyu, Tetapi bila dipahami bahwa ayat-ayat tersebut tersebut turun dalam konteks sanggahan terhadap tuduhan bahwa al-Qur'an adalah buatan Muhammad, maka tentu saja yang dinyatakan sebagai "wahyu yang diwahyukan" kepadanya itu hanyalah al-Qur'an, bukan semua ucapan beliau. Pandangan ini diperkuat oleh lanjutan ayat tersebut yang menyatakan bahwa: Ia diajar oleh (Jibril) yang amat kuat (QS. an-Najm [53]: 6)
Demikian, hendaknya kita tidak sembarangan lagi dalam menafsirkan al-Qur'an dan menetapkan hukum menurutnya. Wallahu a'lam.
Minggu, 21 Februari 2010
Kuharap isi surga bukan hawa nafsu lagi
Sering saya dengar isi-isi surga, air terjun yang ada di bawah kaki kita, pakaian-pakaian indah, kolam susu dan madu. Terakhir kali yang paling mengerikan saya dengar kalau di surga itu setiap lelaki mempunyai dua bidadari, astagfirullah al-adzim, saya harap itu bukan kenyataan, bayangkan saja, saya sudah capek2 ngusir hawa nafsu dari benak saya, menggantinya dengan estetika yang baik, dan balasannya?? lucu sekali. Mungkin bagi orang-orang normal itu yang namanya kebahagiaan = bisa menuntaskan hawa nafsu sebesar-besarnya, tapi apakah anda tahu, orang yang sudah terbiasa memilih estetika daripada hawa nafsu itu amat sangat tahu apa arti kebahagiaan yang sesungguhnya, suatu kebahagiaan yang tidak akan pernah bisa dilihat oleh orang-orang yang memilih hawa nafsu sebagai kehidupannya.
Bagi saya, surga, adalah ketidak-bebasan. Lho? Kenapa? kok tidak bebas? mudah saja, kita bisa mengenal kebebasan karena kita memiliki sesuatu yang buruk dalam benak kita, contohnya saja kesombongan, bayangkan deh kalau di dunia ini ga ada orang yang punya kesombongan sedikit pun, ga bakal ada yg namanya perang, ingin lebih cantik, kaya, dll dari orang lain. Lalu apakah kita harus hidup monoton di surga? coba pertanyaan ini saya ubah, memangnya kalau hidup dengan hawa nafsu ini kita tidak monoton? Bayangkan saja orang2 barat itu, yang perbuatannya yg tidak mengenal estetika sudah tersebar kemana-mana (saya tidak mau menyebutkannya, anda terka saja maksud saya), tanya deh, apakah mereka bahagia? Kebanyakan orang2 yg sudah terbiasa itu akan merasa bosan, dan karena "gelap mata"nya mereka, mereka akan mencari kejahatan-kejahatan baru, terus terus terus sampai keburukan mereka meledak dan tidak ada sisa kebaikan lagi dalam diri mereka, dan mereka akhirnya dipermainkan oleh hawa nafsu mereka sendiri.
Dan apa itu surga menurut saya? Dimana tidak ada kebebasan dan keinginan untuk melakukan kejahatan. Dan untuk hawa nafsu? Saya harap surga yang ada di benak saya seperti piknik bersama bareng keluarga dan teman-teman, kerja bakti dengan gembira mencapai tujuan tertentu, dll, itu bukan termasuk hawa nafsu yg ga beres itu. Saya pikir ada masalah dengan bahasa yang kita pakai sehari-hari, harusnya hawa nafsu itu tidak melingkupi dengan apa yg dimaksud dengan estetika (keindahan, mudah2an dari awal saya nulis ini pada tau artinya), kesimpulannya, daripada saya hidup selamanya dengan sesuatu yang saya benci, saya lebih memilih untuk "tidak ada".
Bagi saya, surga, adalah ketidak-bebasan. Lho? Kenapa? kok tidak bebas? mudah saja, kita bisa mengenal kebebasan karena kita memiliki sesuatu yang buruk dalam benak kita, contohnya saja kesombongan, bayangkan deh kalau di dunia ini ga ada orang yang punya kesombongan sedikit pun, ga bakal ada yg namanya perang, ingin lebih cantik, kaya, dll dari orang lain. Lalu apakah kita harus hidup monoton di surga? coba pertanyaan ini saya ubah, memangnya kalau hidup dengan hawa nafsu ini kita tidak monoton? Bayangkan saja orang2 barat itu, yang perbuatannya yg tidak mengenal estetika sudah tersebar kemana-mana (saya tidak mau menyebutkannya, anda terka saja maksud saya), tanya deh, apakah mereka bahagia? Kebanyakan orang2 yg sudah terbiasa itu akan merasa bosan, dan karena "gelap mata"nya mereka, mereka akan mencari kejahatan-kejahatan baru, terus terus terus sampai keburukan mereka meledak dan tidak ada sisa kebaikan lagi dalam diri mereka, dan mereka akhirnya dipermainkan oleh hawa nafsu mereka sendiri.
Dan apa itu surga menurut saya? Dimana tidak ada kebebasan dan keinginan untuk melakukan kejahatan. Dan untuk hawa nafsu? Saya harap surga yang ada di benak saya seperti piknik bersama bareng keluarga dan teman-teman, kerja bakti dengan gembira mencapai tujuan tertentu, dll, itu bukan termasuk hawa nafsu yg ga beres itu. Saya pikir ada masalah dengan bahasa yang kita pakai sehari-hari, harusnya hawa nafsu itu tidak melingkupi dengan apa yg dimaksud dengan estetika (keindahan, mudah2an dari awal saya nulis ini pada tau artinya), kesimpulannya, daripada saya hidup selamanya dengan sesuatu yang saya benci, saya lebih memilih untuk "tidak ada".
Pengalaman buruk, Mewarnai hidupmu
Judulnya mirip jargon salam X3, tapi bukan itu maksud judulnya. Setuju ga kalau semua pengalaman baik dan buruk yang mengesankan itu bakalan jadi harta tak tergantikan?, ini sih pendapat pribadi saya aja ya, soalnya saya udah biasa dapat pengalaman menyenangkan yang berkesan maupun berkesan tapi menyedihkan. Kalau diingat-ingat pun rasanya ingin tertawa sendiri.
Contohnya saja waktu itu, saat kelas 2 SMA saya kena penyakit types, harus di rumah sakit+menjalani liburan (untung setengah dari masa sakitnya pas liburan) selama sekitar 1 bulan, ga enaaaaaak banget di rumah sakit yang kerjaannya tidur mulu ga ngapa2in, walaupun kamarnya VIP juga. Akhirnya saya masuk juga ke semester baru, seneng banget rasanya bisa kembali ke rutinitas yang menyenangkan (kalo masuk pengen libur, kalo libur pengen masuk, dasar manusia!!). Waktu itu saya ke sekolah pakai seragam PDH (seragam paskib, keren lho, hahaha) dan saat mau upacara, ga ada anak paskib yang mau jadi tura (penjemput pembina upacara). Karena waktu itu saya lagi kangen-kangennya sama paskibra, saya langsung antusias mau menjalankan pekerjaan itu, padahal itu hari pertama saya masuk setelah sakit. Akhirnya pun saya jadi tura, dan waktu itu pas sekali yang jadi pembina adalah polisi yang mau mengadakan penyuluhan. Setelah saya menjemput polisi dan berdiri di samping pak polisi yang berceramah panjang lebar, tiba-tiba saja, Zzzzzzzzznggggg, pandangan mulai pudar, yang satu jadi dua yang dua jadi empat yang empat jadi sepuluh. Wah benar-benar bisa gawat kalau saya pingsan disini pikir saya, di hadapan polisi, anak kelas satu dua tiga, guru-guru, dan yang lebih menakutkan lagi di hadapan senior +junior paskib, pakai PDH lagi!. Langsung saja saya balik kanan daripada pingsan di tempat, saat saya berjalan tegak lurus (kata anak-anak si terhuyung-huyung) yang dimana semua orang ngeliatin saya, tiba-tiba pandangan saya langsung gelap, tapi anehnya saya masih berjalan waktu itu, ga sepenuhnya pingsan, cuma seperempat sadar. Dan "BRUUUUUK!!!" "AAAAAAAaaaaaaaa....." itu yang saya rasakan dan saya dengar, rupanya saya menabrak tiang tembok yang bertepatan di belakang guru-guru, persis. Guru-guru langsung heboh menangkap saya, dan dari anak kelas 1, 2, 3, semuanya tertawa kencang memotong ceramah pak polisi. Malukah? Entah kenapa tidak, bahkan ketika esoknya teman-teman saya tertawa melihat saya, beberapa teman baik saya seperti kiki berkata "maaf ya fal aku ketawa, habis lucu siiiih...".
Dan apa hikmah dari kejadian ini?. Pertama, guru-guru selalu percaya kalau saya izin pulang karena sakit (padahal karena mau nonton AAC atau mau pergi ke dufan sama keluarga, hahahaha (jangan dicontoh!)), yang dimana teman2 saya susaaaaaaaahnya minta ampun buat pulang kalo alasannya cuma sakit doang. Kedua, senior paskib jadi hati-hati kalau mau ngerjain atau nyuruh-nyuruh saya pas pelantikan, hahahahaha. Dan ketiga, hidup saya jadi lebih berwarna dan berarti. Entah kenapa saya jadi membuat kesimpulan bahwa yang buruk bukan pengalamannya, tapi kita yang menanggapinya, karena Allah tak pernah mendzalimi ciptaannya (wallahu a'lam lho...)
Contohnya saja waktu itu, saat kelas 2 SMA saya kena penyakit types, harus di rumah sakit+menjalani liburan (untung setengah dari masa sakitnya pas liburan) selama sekitar 1 bulan, ga enaaaaaak banget di rumah sakit yang kerjaannya tidur mulu ga ngapa2in, walaupun kamarnya VIP juga. Akhirnya saya masuk juga ke semester baru, seneng banget rasanya bisa kembali ke rutinitas yang menyenangkan (kalo masuk pengen libur, kalo libur pengen masuk, dasar manusia!!). Waktu itu saya ke sekolah pakai seragam PDH (seragam paskib, keren lho, hahaha) dan saat mau upacara, ga ada anak paskib yang mau jadi tura (penjemput pembina upacara). Karena waktu itu saya lagi kangen-kangennya sama paskibra, saya langsung antusias mau menjalankan pekerjaan itu, padahal itu hari pertama saya masuk setelah sakit. Akhirnya pun saya jadi tura, dan waktu itu pas sekali yang jadi pembina adalah polisi yang mau mengadakan penyuluhan. Setelah saya menjemput polisi dan berdiri di samping pak polisi yang berceramah panjang lebar, tiba-tiba saja, Zzzzzzzzznggggg, pandangan mulai pudar, yang satu jadi dua yang dua jadi empat yang empat jadi sepuluh. Wah benar-benar bisa gawat kalau saya pingsan disini pikir saya, di hadapan polisi, anak kelas satu dua tiga, guru-guru, dan yang lebih menakutkan lagi di hadapan senior +junior paskib, pakai PDH lagi!. Langsung saja saya balik kanan daripada pingsan di tempat, saat saya berjalan tegak lurus (kata anak-anak si terhuyung-huyung) yang dimana semua orang ngeliatin saya, tiba-tiba pandangan saya langsung gelap, tapi anehnya saya masih berjalan waktu itu, ga sepenuhnya pingsan, cuma seperempat sadar. Dan "BRUUUUUK!!!" "AAAAAAAaaaaaaaa....." itu yang saya rasakan dan saya dengar, rupanya saya menabrak tiang tembok yang bertepatan di belakang guru-guru, persis. Guru-guru langsung heboh menangkap saya, dan dari anak kelas 1, 2, 3, semuanya tertawa kencang memotong ceramah pak polisi. Malukah? Entah kenapa tidak, bahkan ketika esoknya teman-teman saya tertawa melihat saya, beberapa teman baik saya seperti kiki berkata "maaf ya fal aku ketawa, habis lucu siiiih...".
Dan apa hikmah dari kejadian ini?. Pertama, guru-guru selalu percaya kalau saya izin pulang karena sakit (padahal karena mau nonton AAC atau mau pergi ke dufan sama keluarga, hahahaha (jangan dicontoh!)), yang dimana teman2 saya susaaaaaaaahnya minta ampun buat pulang kalo alasannya cuma sakit doang. Kedua, senior paskib jadi hati-hati kalau mau ngerjain atau nyuruh-nyuruh saya pas pelantikan, hahahahaha. Dan ketiga, hidup saya jadi lebih berwarna dan berarti. Entah kenapa saya jadi membuat kesimpulan bahwa yang buruk bukan pengalamannya, tapi kita yang menanggapinya, karena Allah tak pernah mendzalimi ciptaannya (wallahu a'lam lho...)
Labels:
curhat
Sabtu, 20 Februari 2010
IPA vs IPS
Di SMA yang berada di Indonesia, biasanya jurusan IPA lebih populer dibandingkan jurusan IPS. Mungkin karena anak-anak yang berada di IPA pelajarannya lebih sulit dibandingkan yang IPS. Benarkah lebih sulit? Tidak menurut saya, jujur saya lebih memilih belajar Matematika + Fisika + Kimia dibanding harus membaca sejarah. Parahnya, kebanyakan anak yang memilih jurusan IPA bukan karena mereka suka pelajaran eksakta, tapi karena ingin dianggap lebih pintar dibanding teman-temannya alias "gengsi", dan kebanyakan anak yang masuk IPS bukan karena mereka menyukai pelajarannya juga, tapi karena mereka sangat membenci pelajaran IPA.
Di dunia kerja, sudah sangat terbukti bahwa pengetahuan seperti ekonomi, sosiologi, dll, yang paling berguna untuk mereka. Begitu juga di Universitas manapun, anak-anak yang dulunya belajar di IPA langsung berbondong-bondong masuk IPS. Coba lihat anak IPS yang ketika di Universitasnya mengambil IPA, sangat jarang sekali, bahkan mungkin tidak ada sama sekali. Jurusan yang biasanya diminati dalam IPS adalah ekonomi seperti manajemen dan akuntansi. Lulusan-lulusan ekonomi sangat dibutuhkan oleh berbagai perusahaan besar, bahkan ilmunya dapat membuat kita menjadi enterpreneur. Yang kedua diminati mungkin jurusan komunikasi atau psikologi, terbukti jurusan-jurusan yang masuk bidang IPS lebih mudah untuk menyesuaikan diri di dunia kerja. Berbeda dengan yang IPA, solusi agar ilmu yang mereka dapat itu berguna ialah dengan menjadi guru atau dosen, menjadi ilmuwan? sangat jarang dan sulit sekali, bahkan di Indonesia ini hanya sedikit ilmuwan yang dihargai.
Mungkin jurusan kedokteran yang satu-satunya amat menjamin di dunia kerja nanti. Hanya saja sedikit dari mereka yang benar-benar bisa menjadi dokter mulai dari ujian masuknya yang sulit, biaya pendidikannya yang amat mahal, serta butuh perjuangan keras yang menguras otak.
Ada juga memang jurusan teknik, tapi menerapkannya dalam dunia kerja pun sangat sulit. Belum lagi lowongan yang amat terbatas untuk lulusan teknik.
Harusnya sekolah dapat memberi konsultasi mengenai masalah ini. Kebanyakan anak SMA tidak tahu apa-apa mengenai bagaimana cara masuk ke universitas nanti, apalagi dunia kerja, dikiranya belajar IPS selama dua tahun bisa membuahkan pekerjaan menjadi dokter. Contoh-contoh lainnya sudah saya alami sendiri dan melihat teman-teman saya yang menjadi korban atas ketidak tahuan mereka mengenai sistem masuk perguruan tinggi dan dunia kerja.
Memang benar bahwa kesombongan dan penyesalan itu hampir tak ada bedanya.
Di dunia kerja, sudah sangat terbukti bahwa pengetahuan seperti ekonomi, sosiologi, dll, yang paling berguna untuk mereka. Begitu juga di Universitas manapun, anak-anak yang dulunya belajar di IPA langsung berbondong-bondong masuk IPS. Coba lihat anak IPS yang ketika di Universitasnya mengambil IPA, sangat jarang sekali, bahkan mungkin tidak ada sama sekali. Jurusan yang biasanya diminati dalam IPS adalah ekonomi seperti manajemen dan akuntansi. Lulusan-lulusan ekonomi sangat dibutuhkan oleh berbagai perusahaan besar, bahkan ilmunya dapat membuat kita menjadi enterpreneur. Yang kedua diminati mungkin jurusan komunikasi atau psikologi, terbukti jurusan-jurusan yang masuk bidang IPS lebih mudah untuk menyesuaikan diri di dunia kerja. Berbeda dengan yang IPA, solusi agar ilmu yang mereka dapat itu berguna ialah dengan menjadi guru atau dosen, menjadi ilmuwan? sangat jarang dan sulit sekali, bahkan di Indonesia ini hanya sedikit ilmuwan yang dihargai.
Mungkin jurusan kedokteran yang satu-satunya amat menjamin di dunia kerja nanti. Hanya saja sedikit dari mereka yang benar-benar bisa menjadi dokter mulai dari ujian masuknya yang sulit, biaya pendidikannya yang amat mahal, serta butuh perjuangan keras yang menguras otak.
Ada juga memang jurusan teknik, tapi menerapkannya dalam dunia kerja pun sangat sulit. Belum lagi lowongan yang amat terbatas untuk lulusan teknik.
Harusnya sekolah dapat memberi konsultasi mengenai masalah ini. Kebanyakan anak SMA tidak tahu apa-apa mengenai bagaimana cara masuk ke universitas nanti, apalagi dunia kerja, dikiranya belajar IPS selama dua tahun bisa membuahkan pekerjaan menjadi dokter. Contoh-contoh lainnya sudah saya alami sendiri dan melihat teman-teman saya yang menjadi korban atas ketidak tahuan mereka mengenai sistem masuk perguruan tinggi dan dunia kerja.
Memang benar bahwa kesombongan dan penyesalan itu hampir tak ada bedanya.
Musik Haram?
Pada setiap jaman, banyak sekali umat Islam memperdebatkan mengenai masalah ini. Memang, yang kita tahu bahwa ada beberapa musik yang merdu dengan kata-kata indah didalamnya, juga musik yang keras dan berisik (rock, metal, dll) dengan kata-kata yang tidak pantas untuk diucapkan didalamnya. Tentu dari sini kita dapat memilah, mana musik yang baik, serta mana musik yang buruk, karena musik adalah salah satu bentuk fitrah (kecenderungan manusia kepada keindahan). Dalam al-Qur’an pun dijelaskan Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah). (Tetapkanlah atas) fitrah Allah yang menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui (QS. ar-Rûm [30]: 30). Dari ayat ini kita bisa melihat bahwa al-Qur’an tidak bertentangan dengan fitrah.
Al-Ghazâlî pun mengecam mereka yang mengharamkan musik atau nyanyian, ia mengaitkan tentang larangan mendengar musik atau nyanyian itu dengan kondisi atau dampak negatif yang menyertainya. Bahkan dalam beberapa hadits dikatakan mengenai ketidak haramannya musik, seperti:
‘Â’isyah menjelaskan, “Rasulullah saw. masuk ke rumah dan ketika itu ada dua orang budak wanita sedang menyanyikan nyanyian peperangan Buats. Maka Rasulullah pergi berbaring di kasur dan mengalihkan wajah beliau. (Tidak lama) masuk Abû Bakar dan dia menghardik saya seraya berkata, ‘Seruling setan di sisi Rasulullah?’ Maka Nabi saw. menghadapkan wajahnya kepada Abû Bakar dan bersabda, ‘Biarkan keduanya (menyanyi).’ Ketika Abû Bakar pulang, saya memberi isyarat kepada keduanya dan kedua (penyanyi itu) keluar” (HR. al-Bukhari, Muslim, dan Ibnu Majah)
Dari hadits ini kita bisa menafsirkan bahwa Rasulullah saw. memalingkan wajah bukan karena nyanyian mereka, mungkin karena ingin menghindari untuk melihat penyanyi-penyanyi tersebut, atau mungkin karena beliau tidak menyukai suara atau syair mereka. Dari hadits ini pun kita bisa mengambil bukti bahwa suara wanita bukan aurat/tidak haram didengar, seperti yang dituduhkan oleh para ekstrimis Islam.
Bahkan dalam membaca al-Qur’an pun kita diperbolehkan untuk memakai suara yang merdu, seperti yang dikatakan oleh Nabi Muhammad saw. yang disampaikan oleh sahabatnya, âl-Barrâ’ bin ’Âzib, bahwa Nabi saw. bersabda, “Perindahlah al-Qur’an dengan suaramu” (HR. Abû Dâwûd dan an-Nasâ’î).
Bamacam-macam jenis lagu, siapapun penyanyinya, pria atau wanita, Muslim atau bukan, jika mendorong kearah kebaikan, hukumnya halal. Dan sebaliknya walaupun lagu berbahasa Arab sekalipun, dapat saja menjadi haram bila mengandung kalimat yang tidak baik juga sopan dan membuat marah atau jengkel seseorang.
Pernah terjadi di jaman Rasulullah saw., dua wanita mendendangkan lagu yang berisi pengenangan pahlawan yang gugur dalam peperangan Badar sambil menabuh gendang. Mereka menyanyikan syair, antara lain, “Kami mempunyai Nabi yang mengetahui apa yang mengetahui apa yang akan terjadi esok.”
Ketika itulah Nabi saw. menegur mereka sambil bersabda, “Adapun yang demikian, maka jangan engkau ucapkan,” demikian diriwayatkan oleh Imam Ahmad.
Perlu dilihat sekarang ini bahwa menetapkan sesuatu tersebut haram secara sembarangan adalah hal yang sangat berbahaya, bahkan bagi orang lain. Sebaiknya kita jangan mudah percaya sebelum melihat bukti-bukti aslinya seperti al-Qur’an ataupun hadits Nabi. Demikian langkah-langkah kita untuk bersikap kritis sebelum mempercayai sesuatu. Demikian, wallahu’alam.
Organik atau Non-Organik?
Belakangan ini banyak masyarakat mengkonsumsi sayuran dan buah-buahan organik setelah jamannya pertanian konvensional merajalela. Kerugian yang diakibatkan oleh sayuran dan buah-buahan berpestisida itu sepertinya sudah banyak diketahui oleh masyarakat walaupun belum sebagian besar dari mereka tahu. Beberapa tahun terakhir ini pertanian organik modern masuk ke Indonesia secara sporadis dan kecil-kecilan. Penekanan pada pertanian organik sementara ini lebih kepada meninggalkan pemakaian pestisida sintesis. Dengan makin berkembangnya ilmu pengetahuan mengenai pertanian seperti teknologi kesehatan, lingkungan hidup, mikrobiologi, kimia, molekuler biologi, biokimia dan lain-lain, pertanian organik terus berkembang untuk menggantikan pertanian konvensional.
Rusaknya kesehatan Masyarakat
Kita semua pada dasarnya telah terbiasa mengkonsumsi makanan non-organik secara berketerusan. Kebanyakan dari makanan yang kita makan, terutama buah dan sayuran segar, mengandung residu pestisida. Makanan berpestisida ini dihasilkan oleh pertanian konvensional yang telah disebutkan tadi.
Pertanian konvensional adalah pertanian yang tergantung pada penggunaan bahan pupuk kimia dan pestisida. Pestisida kimia ini bahkan dapat menghambat produksi ‘flavonoid’ pada tanaman, yaitu senyawa alami yang dapat melawan kanker, penyakit jantung, dan memerangi disfungsi neurologis. Menurut data laporan tentang pestisida dalam makanan oleh The National Academi of Sciences (NAS) lebih dari sejuta kasus kanker tambahan dalam masyarakat Amerika disebabkan oleh makanan yang mengandung sampai tiga puluh macam pestisida karsinogen tesebut, padahal makanan itu adalah makanan yang biasa mereka makan.
Berbagai jenis pestisida dan potensi berbahaya bagi kesehatan manusia harusnya telah dirasakan dan ditanggulangi sejak dulu. Selain kanker, pestisida ini juga dapat mengakibatkan kelainan reproduksi, mutasi gen, kerusakan ginjal, dan berbagai pengaruh berbahaya lainnya.
Kasus ini diperparah dengan penampilan sayuran dan buah berpestisida yang lebih segar dibanding sayuran dan buah organik. Pernah dilakukan penelitian oleh pihak produsen bahan pengawet dengan menjejerkan strawberry sumbangan mereka dan dibandingakan dengan strawberry lokal, yang keduanya dibiarkan di atas piring dalam temperatur normal. Hasilnya strawberry lokal setelah beberapa saat mulai berair dan membusuk, sedangkan strawberry dengan pengawet setelah satu bulan pun tetap terlihat segar. Sebagian besar sayuran dan buah yang lebih awet disebabkan karena makanan tersebut disinar (radiasi). Radiasi ini bertujuan untuk membunuh bakteri dan mengawetkan makanan, hanya saja beberapa metode radiasi menggunakan banyak energi elektron atau sinar X sehingga senyawa organik dalam tanaman pun dapat berubah. Dari hal ini kita dapat menilai bahwa sayuran dan buah yang justru dikerubungi oleh hama atau mudah membusuk adalah sayuran dan buah yang sehat dan tidak berbahaya. Sungguh menyedihkan mengingat masyarakat kebanyakan beranggapan sebaliknya.
Dilihat dari segi ekonomi, memang sayur dan buah dari hasil pertanian konvensional itu terbilang lebih murah daripada sayur dan buah organik. Sehingga masyarakat pun lebih memilih sayur dan buah non-organik. Dalam hal ini harusnya pemerintah dan para pengusaha agrobisnis ikut membantu, paling tidak dengan mengurangi pestisida yang digunakan dan mencampurnya dengan pembunuh hama tradisional, Sehingga masyarakat kecil dan menengah dapat menjangkau harga sayur dan buah organik. Bila penggunaan pestisida secara besar-besaran masih terus digunakan, tentunya akan lebih banyak lagi penyakit berbahaya yang tersebar, dan tentu lebih bijaksana dan ekonomis apabila kita menghindari penyakit-penyakit tersebut daripada mengobatinya.
Pertanian organik
Pertanian organik adalah sistem produksi tanam-menanam yang menghindari atau sangat membatasi penggunaan pupuk kimia (pabrik), pestisida, herbisida, zat pengatur tumbuh dan aditif pakan. Tujuan utama dari pertanian organik sendiri adalah menciptakan bahan pangan yang aman bagi kesehatan produsen dan konsumennya serta tidak merusak lingkungan. Gaya hidup sehat dengan mengkonsumi makanan organik telah melembaga secara internasional yang memiliki syarat jaminan bahwa produk pertanian haruslah beratribut aman dikonsumsi (food safety attributes), memiliki kandungan nutrisi tinggi (nutritional attributes), dan ramah lingkungan (eco-labelling attributes).
Pertanian organik menawarkan kita harapan yang besar dengan kapasitas untuk membantu mengatasi beberapa masalah lingkungan yang paling kritis saat ini, yaitu: pemanasan global, kerusakan lingkungan, dan menipisnya persediaan pangan dan air di seluruh dunia. Dibandingkan dengan pertanian konvensional, pertanian organik menggunakan bahan bakar fosil dan air yang jauh lebih sedikit untuk menghasilkan panen yang sama. Terlebih lagi, ia mungkin dapat membantu memperlambat atau bahkan membalikkan efek perubahan iklim. Dalam salah satu penelitian yang paling lama terhadap pertanian organik, Institut Rodale yang ada di AS menemukan bahwa managemen tanah organik tidak hanya memperkecil penggunaan bahan bakar fosil, tetapi juga menyerap karbon dioksida dari udara dan menyimpannya sebagai karbon di dalam tanah.
Salah satu dari banyak keuntungan sistem pertanian organik lainnya adalah meningkatnya produksi ‘flavoid’ dalam tanaman. Senyawa yang harusnya berkurang karena bahan-bahan kimia ini dapat melindungi sel terhadap kerusakan oleh radikal bebas yang dapat menyebabkan kanker, penyakit jantung, dan proses penuaan yang berkaitan dengan kerusakan sel saraf.
Menurut penelitian yang dibiayai oleh Uni Eropa, buah dan sayuran organik pun memiliki antioksidan 50% lebih banyak, yang dipercaya oleh para ahli dapat menurunkan resiko kanker dan penyakit jantung. Menurut penelitian terkini yang lain, makanan organik juga dapat meningkatkan kekebalan tubuh, tidur lebih nyenyak, dan konsumen akan memiliki berat badan yang lebih ringan dibandingkan dengan pengonsumsi makanan non-organik.
So, masihkah kita harus peduli dan mengkonsumsi makanan hasil pertanian konvensional secara rutin? Harga kesehatan itu ternyata relatif, jadi mulailah kita menabung kesehatan dalam diri kita dengan tidak menambah bibit-bibit penyakit yang menyebabkan harga kesehatan tersebut menjadi mahal.
“Saya Tidak Tahu”
Di dalam diskusi bahkan obrolan sehari-hari, banyak terjadinya kegiatan tanya-jawab di dalamnya. Sebagian besar orang menjawab pertanyaan-pertanyaan teman diskusinya dengan mudah saja, tanpa didasari sumber dan alasan yang sudah terbukti kebenarannya untuk mendukung argumen tersebut. Hal ini tentu tidak menjadi masalah ketika dalam diskusi tersebut bertujuan untuk saling bertukar pendapat atau hal yang dibicarakan tidak penting, tetapi menjadi masalah ketika pertanyaan yang dilontarkan di dalam diskusi adalah pertanyaan sederhana yang sulit, contohnya saja seperti “Apakah boleh menyikat gigi ketika berpuasa?” atau “Boleh tidak kita mengucapkan selamat untuk teman yang beragama lain terhadap hari besar mereka?”. Hanya ada tiga kemungkinan seseorang untuk menjawab pertanyaan yang tidak diketahuinya. Pertama, berbohong, perbuatan ini sungguh tidak baik dan apalagi dalam bidang agama merupakan suatu dosa besar. Kedua, menduga-duga atau mengira-ngira, mungkin karena kurangnya pengetahuan yang dimiliki atau pengetahuan tersebut tidak berdasarkan sumber yang pasti. Perbuatan ini beresiko menjadi perbuatan salah dan dosa, di dalam QS. al-Hujurât [49]: 12 dan surah an-Najm [53]: 28 yang mengatakan bahwa sebagian dari sangkaan adalah dosa dan sangkaan tidak bermafaat sedikit pun bagi kebenaran. Ketiga, dengan menjawab “Saya tidak tahu”, dengan jawaban ini kita tidak perlu menanggung resiko untuk berdosa dan si penanya dapat bertanya kepada yang lebih tahu atau mencari referensi untuk menjawab pertanyaannya secara pasti, sehingga jawaban yang didapat memiliki bukti kebenaran yang nyata serta tidak menimbulkan kesalahan-kesalahan pengetahuan lain yang menjadi akan atas kesalahan berikutnya. Banyaknya para pemuka agama, dosen, ataupun orang yang mendapat kepercayaan pada masyarakat lainnya bersifat subjektif dalam menjawab sebuah pertanyaan. Akibatnya banyak masyarakat yang tidak kritis percaya begitu saja atas jawaban dengan sumber tak jelas tersebut dan melakukan hal-hal ganjil yang mengganggu masyarakat lainnya. Misalnya saja pernah di dalam suatu desa ada kejadian mengenai masjid yang tidak mau memakai speaker saat adzan karena menurut seorang yang digelari panggilan udztad oleh penduduk tersebut, melarang hal itu dengan alasan di jaman nabi adzan tidak memakai speaker. Berbagai hal seperti ini tentu mengganggu banyak masyarakat sekitar, sehingga penting sekali sikap objektif dalam menjawab segala pertanyaan yang ada. Walaupun jawaban “Saya tidak tahu” terkesan memalukan dan tidak meningkatkan gengsi, jawaban ini dapat melatih kita untuk bersifat jujur dan bijaksana Dengan mengakui bahwa diri kita tidak mengetahui suatu permasalahan akan menimbukan rasa ingin tahu yang besar di pihak yang bertanya maupun yang ditanyakan sehingga terlatih untuk bersifat kritis dalam mencari pengetahuan yang dipertanyakan. Imam Mâlik ra. berkata: “Ilmu agama hanya tiga, (1) ayat yang jelas, (2) sunnah yang shahih, dan (3) ucapan ‘Aku tidak tahu.’” Bahkan seorang ulama ketika ingin meneliti arti satu kata dalam al-Qur’an saja harus mempertimbangkan apa yang diistilahkan dengan al-itimâlât âl-‘asyr, yakni sepuluh kemungkinan yang harus dipilah untuk menelusuri arti ayat tersebut. Memang terdengar sangat sulit untuk menemukan jawaban yang benar dari suatu pertanyaan, tetapi dengan bukti-bukti yang kuat atas jawaban tersebut, akan muncul satu kebenaran yang menuju pada kebaikan universal. Jawaban sederhana dari sebuah pertanyaan akan membuat landasan kebenaran untuk argumen-argumen berikutnya, sehingga argumen tersebut memiliki bahan dasar yang pasti. Bisa dibayangkan apabila pada suatu pengetahuan memiliki dasar yang salah, tentu penelitian berikutnya atas pengetahuan itu akan salah terus-menerus hingga akhir,Tidak mau menjawab atas pengetahuan yang belum kita mengerti sepenuhnya bukan berarti menyembunyikan pengetahuan yang ada. Kita dapat menjelaskan semua pengetahuan yang kita miliki serta sumbernya dengan merinci sumber-sumber yang jelas maupun tidak atau tetap berkata “Saya tidak tahu” dengan harapan penanya dan yang ditanyakan mendapat jawaban lain untuk dibandingkan. Risiko salah yang di dapatkan pun akan berkurang, bahkan dalam sabda Nabi saw. yang disampaikan oleh ‘Abdullâh bin Ja’far, “Yang paling berani berfatwa diantara kamu adalah yang paling berani terhadap nerakaBukan saja kita bisa salah atau keliru dalam menjawab, kita juga bisa lupa.Dengan segala akibat ini, jawaban “Saya tidak tahu” menjadi jawaban paling bijaksana ketika mendapat pertanyaan yang berpengaruh pada kehidupan seseorang atau ilmu pengetahuan dan kita benar-benar tidak tahu atau hanya tahu beberapa. Tentunya dengan ini kita dapat membuang sikap sombong dan ingin dipuji kita serta fokus pada mencari kebenaran pengetahuan yang hakiki.