Aku ingin keluar dari dunia atau lebih tepatnya aturan-aturan dunia.
Kenapa? Karena aku sudah tidak bahagia lagi dan aku tidak menemukan solusi untuk bahagia kecuali kebahagiaan yang sedikit, benar-benar buntu dan benar-benar tidak ada petunjuk.
Apa satu-satunya cara hanyalah mati, dan aku benci sekali masih harus terlibat dengan urusan surga dan neraka.
Aku benci, aku ingin tiada selamanya.
Selasa, 08 Februari 2011
Rabu, 15 Desember 2010
I and Thou, Martin Buber
Pemikiran Martin Buber bercerita mengenai relasi manusia-manusia, manusia-alam, manusia-soul (Tuhan, dsb) yang merupakan sumber kebahagiaan. Saya menyebut kebahagiaan, bukan eksistensi, hanya karena kata eksistensi keliahatannya agak menjijikan bagi saya, dan rumit bagi orang non-filsafat. Ini buku bagus yang bisa dijadikan dasar untuk orang yang ingin berpikir luas dan mencari kebahagiaan yang sesungguhnya.
Dan lagi2, demi memakai tugas eksis yang tak terpakai kembali dan demi memenuh2kan blog saya. Jadi saya masukan saja.
I AND THOU
Dalam bukunya, Martin Buber mengambil contoh tree sebagai sesuatu yang hidup dan mudah untuk direlasikan. Tree yang dimaksud ini sendiri memiliki kualitas yang baik sebagai pohon, yang berarti baik I maupun Tree tersebut dapat sama-sama bersedia menjalin relasi untuk mengeksiskan diri. Dalam Tree sebagai Thou, batasan-batasan yang menjadi penghalang diantara mereka sudah tidak ada lagi, relasi diantara mereka adalah eksistensi mereka, dimana I dan tree merupakan kesatuan jika dilihat dari eksistensi mereka tersebut. Tanpa adanya relasi tersebut tree itu hanya akan menjadi it, yang dimana ia tidak berarti bagi eksistensi sang subjek, hal tersebut dapat menjadi sebuah kerugian bagi subjek itu sendiri, karena dengan banyak membuat it sebagai thou, ia akan membuat dirinya sendiri lebih eksis, yang juga berarti lebih bahagia. Tree merupakan contoh penghubung yang bagus untuk menggambarkan thou, ia adalah makhluk hidup yang efek timbal baliknya paling tidak secara langsung dibanding makhluk hidup lainnya, ia mudah dinikmati karena tubuhnya besar dan kokoh, tak acuh jika disiksa, dan tak pernah menyiksa apapun dengan sengaja, intinya, mudah serta menyenangkan untuk membangun relasi dengan mereka.
Dalam relasi it sebagai thou ini tidak seharusnya ada bagian dalam thou yang dibenci oleh subjek. Baik kenangan (yang masih dikenang) mengenai thou tersebut, bagian tubuhnya, pengetahuan tentangnya, dsb. Mungkin jika diumpamakan secara ekstrem, bila ada seorang manusia yang sangat kita cintai tapi ia memiliki tumor yang dapat menghancurkan hidupnya, maka tumor tersebut bukan merupakan kesatuan dari thou atau dirinya. Yang dimaksud disini bukan menyatakan thou sebagai bagian, melainkan ada beberapa bagian-bagian yang tidak bisa dianggap kesatuan dari thou tersebut. Kita tidak bisa membangun relasi it sebagai thou jika kita masih membenci sesuatu yang merupakan kesatuannya, misalnya membenci mata sipitnya, atau sifat PDnya. Membangun relasi I-thou dengan manusia jauh lebih sulit dan beresiko dibanding menjalin relasi tersebut dengan pohon. Hanya saja karena memang lebih sulit, hasilnya juga akan lebih memuaskan, hal ini terjadi karena manusia memiliki timbal balik yang lebih nyata, lebih baik, dan lebih membahagiakan dibanding pohon.
Relasi I-thou dengan alam bukan merupakan hasil imajinasi atau hasil dari perasaan kita saat itu. Bukan karena kita sedang bahagia lalu kita dapat menikmati bagian dari alam tersebut, atau juga bukan karena kita membayangkan mereka bicara atau bermain dengan kita. Relasi tersebut bagai sebuah hubungan materi serta rohani yang pada intinya dapat memberi ketenangan jiwa. Bayangkan betapa melegakannya jika di dalam hati kita bertumpuk segala macam emosi buruk lalu kita menghilangkannya karena ada orang yang sangat kita sayangi, bukan dengan marah kepada mereka melainkan dengan membuka diri kita apa adanya di hadapan mereka. Yang ditekankan disini bukan membuka diri dengan ‘curhat’ secara lisan, melainkan secara sadar. Kita tidak bisa membangun relasi I-thou dengan makhluk-makhluk mati karena mereka tidak sadar akan adanya kita. Dengan demikian, semakin besar kesadaran yang dapat menenangkan jiwa bagi I maupun thou atau mungkin masih setingkat dengan It yang memiliki potensi untuk menjadi thou, semakin besar adanya relasi itu.
Tree yang dimaksud bukan jiwa yang ada di dalam pohon itu ataupun makhluk-makhluk gaib yang ada di dalam / merupakan pohon itu, tetapi ia adalah tree itu sendiri. Martin Buber menggambarkan tree tersebut dengan bagian-bagian serta lingkungan yang dapat mendukungnya menjadi thou bagi I itu sendiri. Bagaimanapun kondisi serta situasinya ia tetap akan menyukai tree tersebut selama ia masih merupakan suatu kesatuan dan ia masih tree yang mirip dengan yang ia pikirkan sekarang. Dalam ranah waktu, hubungan I dengan thou ini hanya berlaku untuk sekarang, karena thou bukan merupakan ingatan yang berarti masa lalu dan ia juga bukan merupakan impian yang berarti masa depan, ia adalah suatu relasi yang baik. Jadi relasi antara I dengan thou merupakan suatu kesuksesan kehidupan bagi I dengan thou itu sendiri. Bukan berarti dengan satu relasi tersebut kita berarti telah sukses dalam hidup, akan tetapi hal ini menggambarkan bahwa kehidupan adalah suatu relasi, baik relasi kita dengan alam, manusia, maupun hal-hal spiritual.
Relasi I dan thou dapat diperoleh dengan saling mempercayai dan memberkati satu sama lain. Ada suatu tingkatan spesial pada kedua hal tersebut dimana ia merubah it menjadi thou. Perubahan tersebut ditandai dengan adanya keindahan dari thou tersebut, sebuah keindahan yang hanya bisa dilihat oleh I yang membangun relasi dengannya. Seperti contoh pada tree tadi, subjek biasa hanya akan memandang pohon tersebut sebagai benda biasa saja, tidak ada kesan yang menyentuh hati darinya, sedangkan subjek yang telah membangun relasi dengannya akan memandang tree tersebut dengan sudut pandang estetis tinggi yang rasanya harus sangat ia jaga dan ia hargai. Hal tersebut tidak berlaku hanya pada penampilan luarnya saja, melainkan bagaimana ia berkolaborasi dengan alam atau lingkungannya, kepribadiannya (untuk manusia atau hewan), dan segala hal yang tetap memberikan keutuhan pada dirinya.
Jadi, tree yang digambarkan sebagai thou ini adalah sesuatu yang spesial bagi subjek yang membangun relasi dengannya. Tree tersebut memiliki nilai estetis yang tinggi baginya dan ia menjadi bagian dari diri subjek tersebut. Tree sebagai thou disini ialah sepenuhnya tree itu sendiri, tidak ada suatu bagian dari dirinya yang menyakitkan atau dihindari subjek tersebut untuk membangun relasi dengannya. Kebahagiaannya (subjek) adalah kebahagiaan thou itu juga, kesedihannya adalah kesedihan thou itu juga, dan begitu pula dengan sebaliknya selama mereka masih menjalin relasi I-thou tersebut, maksud ‘masih’ disini berarti saat ini juga, bukan masa depan ataupun masa lalu. Sehingga, relasi I-thou yang digambarkan pada seorang manusia dan sebatang pohon tersebut adalah bentuk pengeksisan diri dimana hal tersebut merupakan tujuan utama manusia pada umumnya, yaitu kebahagiaan.
Dan lagi2, demi memakai tugas eksis yang tak terpakai kembali dan demi memenuh2kan blog saya. Jadi saya masukan saja.
I AND THOU
Dalam bukunya, Martin Buber mengambil contoh tree sebagai sesuatu yang hidup dan mudah untuk direlasikan. Tree yang dimaksud ini sendiri memiliki kualitas yang baik sebagai pohon, yang berarti baik I maupun Tree tersebut dapat sama-sama bersedia menjalin relasi untuk mengeksiskan diri. Dalam Tree sebagai Thou, batasan-batasan yang menjadi penghalang diantara mereka sudah tidak ada lagi, relasi diantara mereka adalah eksistensi mereka, dimana I dan tree merupakan kesatuan jika dilihat dari eksistensi mereka tersebut. Tanpa adanya relasi tersebut tree itu hanya akan menjadi it, yang dimana ia tidak berarti bagi eksistensi sang subjek, hal tersebut dapat menjadi sebuah kerugian bagi subjek itu sendiri, karena dengan banyak membuat it sebagai thou, ia akan membuat dirinya sendiri lebih eksis, yang juga berarti lebih bahagia. Tree merupakan contoh penghubung yang bagus untuk menggambarkan thou, ia adalah makhluk hidup yang efek timbal baliknya paling tidak secara langsung dibanding makhluk hidup lainnya, ia mudah dinikmati karena tubuhnya besar dan kokoh, tak acuh jika disiksa, dan tak pernah menyiksa apapun dengan sengaja, intinya, mudah serta menyenangkan untuk membangun relasi dengan mereka.
Dalam relasi it sebagai thou ini tidak seharusnya ada bagian dalam thou yang dibenci oleh subjek. Baik kenangan (yang masih dikenang) mengenai thou tersebut, bagian tubuhnya, pengetahuan tentangnya, dsb. Mungkin jika diumpamakan secara ekstrem, bila ada seorang manusia yang sangat kita cintai tapi ia memiliki tumor yang dapat menghancurkan hidupnya, maka tumor tersebut bukan merupakan kesatuan dari thou atau dirinya. Yang dimaksud disini bukan menyatakan thou sebagai bagian, melainkan ada beberapa bagian-bagian yang tidak bisa dianggap kesatuan dari thou tersebut. Kita tidak bisa membangun relasi it sebagai thou jika kita masih membenci sesuatu yang merupakan kesatuannya, misalnya membenci mata sipitnya, atau sifat PDnya. Membangun relasi I-thou dengan manusia jauh lebih sulit dan beresiko dibanding menjalin relasi tersebut dengan pohon. Hanya saja karena memang lebih sulit, hasilnya juga akan lebih memuaskan, hal ini terjadi karena manusia memiliki timbal balik yang lebih nyata, lebih baik, dan lebih membahagiakan dibanding pohon.
Relasi I-thou dengan alam bukan merupakan hasil imajinasi atau hasil dari perasaan kita saat itu. Bukan karena kita sedang bahagia lalu kita dapat menikmati bagian dari alam tersebut, atau juga bukan karena kita membayangkan mereka bicara atau bermain dengan kita. Relasi tersebut bagai sebuah hubungan materi serta rohani yang pada intinya dapat memberi ketenangan jiwa. Bayangkan betapa melegakannya jika di dalam hati kita bertumpuk segala macam emosi buruk lalu kita menghilangkannya karena ada orang yang sangat kita sayangi, bukan dengan marah kepada mereka melainkan dengan membuka diri kita apa adanya di hadapan mereka. Yang ditekankan disini bukan membuka diri dengan ‘curhat’ secara lisan, melainkan secara sadar. Kita tidak bisa membangun relasi I-thou dengan makhluk-makhluk mati karena mereka tidak sadar akan adanya kita. Dengan demikian, semakin besar kesadaran yang dapat menenangkan jiwa bagi I maupun thou atau mungkin masih setingkat dengan It yang memiliki potensi untuk menjadi thou, semakin besar adanya relasi itu.
Tree yang dimaksud bukan jiwa yang ada di dalam pohon itu ataupun makhluk-makhluk gaib yang ada di dalam / merupakan pohon itu, tetapi ia adalah tree itu sendiri. Martin Buber menggambarkan tree tersebut dengan bagian-bagian serta lingkungan yang dapat mendukungnya menjadi thou bagi I itu sendiri. Bagaimanapun kondisi serta situasinya ia tetap akan menyukai tree tersebut selama ia masih merupakan suatu kesatuan dan ia masih tree yang mirip dengan yang ia pikirkan sekarang. Dalam ranah waktu, hubungan I dengan thou ini hanya berlaku untuk sekarang, karena thou bukan merupakan ingatan yang berarti masa lalu dan ia juga bukan merupakan impian yang berarti masa depan, ia adalah suatu relasi yang baik. Jadi relasi antara I dengan thou merupakan suatu kesuksesan kehidupan bagi I dengan thou itu sendiri. Bukan berarti dengan satu relasi tersebut kita berarti telah sukses dalam hidup, akan tetapi hal ini menggambarkan bahwa kehidupan adalah suatu relasi, baik relasi kita dengan alam, manusia, maupun hal-hal spiritual.
Relasi I dan thou dapat diperoleh dengan saling mempercayai dan memberkati satu sama lain. Ada suatu tingkatan spesial pada kedua hal tersebut dimana ia merubah it menjadi thou. Perubahan tersebut ditandai dengan adanya keindahan dari thou tersebut, sebuah keindahan yang hanya bisa dilihat oleh I yang membangun relasi dengannya. Seperti contoh pada tree tadi, subjek biasa hanya akan memandang pohon tersebut sebagai benda biasa saja, tidak ada kesan yang menyentuh hati darinya, sedangkan subjek yang telah membangun relasi dengannya akan memandang tree tersebut dengan sudut pandang estetis tinggi yang rasanya harus sangat ia jaga dan ia hargai. Hal tersebut tidak berlaku hanya pada penampilan luarnya saja, melainkan bagaimana ia berkolaborasi dengan alam atau lingkungannya, kepribadiannya (untuk manusia atau hewan), dan segala hal yang tetap memberikan keutuhan pada dirinya.
Jadi, tree yang digambarkan sebagai thou ini adalah sesuatu yang spesial bagi subjek yang membangun relasi dengannya. Tree tersebut memiliki nilai estetis yang tinggi baginya dan ia menjadi bagian dari diri subjek tersebut. Tree sebagai thou disini ialah sepenuhnya tree itu sendiri, tidak ada suatu bagian dari dirinya yang menyakitkan atau dihindari subjek tersebut untuk membangun relasi dengannya. Kebahagiaannya (subjek) adalah kebahagiaan thou itu juga, kesedihannya adalah kesedihan thou itu juga, dan begitu pula dengan sebaliknya selama mereka masih menjalin relasi I-thou tersebut, maksud ‘masih’ disini berarti saat ini juga, bukan masa depan ataupun masa lalu. Sehingga, relasi I-thou yang digambarkan pada seorang manusia dan sebatang pohon tersebut adalah bentuk pengeksisan diri dimana hal tersebut merupakan tujuan utama manusia pada umumnya, yaitu kebahagiaan.
Catatan dari Bawah Tanah, Fyodor Dostoyevski
Kumasukan karena kurang kerjaan, memanfaatkan lebih dari tugas eksis yang tak akan terpakai lagi, dan karena pemikirannya bagus, tapi kukira aku tidak menuliskannya dengan bagus, jadi lebih baik anda baca bukunya sendiri, dan saya punya bukunya. (tadi aku, sekarang saya)
Catatan dari Bawah Tanah
Sisi Eksistensialisme The Underground Man:
“Kesadaran yang mana pun juga, sebetulnya suatu penyakit”, sebuah pernyataan yang membandingkan suatu penyakit itu sendiri dengan sebuah kesadaran. Penyakit, pada dasarnya memberikan kesadaran lebih baik karena rasa sakit itu sendiri daripada ketika manusia tidak sedang menderita sakit apapun. The Underground Man juga menyatakan dirinya ingin menjadi serangga, entah agar ia dapat menerima lebih banyak rasa sakit karena serangga pada dasarnya memang sering disakiti, atau karena ia menyatakan bahwa hewan memiliki kesadaran yang amat rendah sehingga rasa sakit itupun tidak berpengaruh besar pada kesadaran mereka. Makin tinggi kesadaran seseorang maka ia akan makin sanggup untuk merasakan yang “baik dan indah”. Rasa atau pengetahuan ini dapat menimbulkan perasaan mampu melakukan perbuatan buruk yang merupakan kontra dari pengetahuan baik dan indah tersebut, tetapi dalam waktu yang bersamaan juga timbul perasaan bahwa perbuatan buruk tersebut tidak boleh terjadi. Sehingga makin sadar diri seseorang, ia juga akan makin menderita karena rasa sakit yang ditimbulkan ooleh pengetahuan akan yang baik dan indah tersebut. Di dalam yang baik dan indah itu juga terdapat suatu pengetahuan bahwa segala hal yang terjadi bukanlah sesuatu yang kebetulan, sehingga rasa untuk melawan penyakit/cacat itu hilang sama sekali. The Underground Man juga menyatakan bahwa di dalam penderitaannya atas rasa sakit itu ia juga menikmati semacam kenikmatan aneh dan penuh rahasia. Ia menggambarkan suatu perbuatan buruk yang senang dilakukannya padahal ia tahu itu buruk dan menjijikan bagi dirinya sendiri, dan hal tersebut tidak bisa ia halangi keterjadiannya karena ia telah mencapai titik maksimal dari usahanya bagi dirinya sendiri untuk mencegahnya. Hal ini menggambarkan sebuah ketetapan hukum alam yang tidak bisa dicegah olehnya, dan akhirnya ia nikmati penderitaan itu karena ia tahu tidak ada jalan keluar dari kesadaran kejatuhan dirinya sendiri yang sangat dalam itu. dapat disimpulkan bahwa menurutnya kita dapat memperoleh kenikmatan dari keputusasaan yang terkandung kenikmatan-kenikmatan yang paling dalam, terutama kalau kita sadar sekali bahwa keadaan kita tidak bisa tertolong lagi. Setiap penderitaan, jelasnya lagi, akan menimbulkan rasa dendam, ia menggambarkan bahwa setiap dendam itu sebenarnya tertuju pada dendam terhadap hukum alam. Baik orang yang memberi penderitaan maupun yang mendendam, itu semua merupakan hukum alam yang memang harus terjadi.
“Erangan ini (sakit gigi) mengutarakan kesadaran bahwa Anda tak punya musuh yang harus Anda hukum”. Dalam contoh mengenai sakit gigi ini, ia menggambarakan bahwa sebagaimanapun kita kesalnya, menginginkan gigi ini berhenti untuk sakit baik dari keinginan dari diri sendiri maupun dari orang lain, gigi tersebut akan tetap menyakiti kita sebagai suatu ketetapan dari hukum alam yang harus terjadi. Dalam erangan-erangan tak berguna yang tetap akan kita lakukan itu, akan membawa kita pada pengakuan dan kerendahan yang di dalamnya terkandung nikmat paling lezat. Hal ini merupakan sebuah bentuk interaksi pada orang lain dimana kita meminta-minta banyak perhatian ataupun pertolongan orang lain tanpa kita merasa malu dengannya karena telah ditutupi oleh rasa sakit tersebut. Dengan kata lain, ia puas telah dapat memberi tahu setiap orang segala hal yang ia rasakan, walaupun segala hal tersebut adalah rasa sakit yang menyentak-nyentak.
“Akal tidak lebih dari akal dan hanya dapat memenuhi kebutuhan aspek rasional sifat manusia, sedangkan kemauan adalah penjelmaan seluruh kehidupan.” Ia memberi contoh pada kehidupan yang bisa diketahui sebab akibatnya bagaikan operasi matematika. Pada akhirnya hal ini dapat menimbulkan hilangnya kebebasan manusia karena ia telah mengetahui segala resiko, segala akibat (dengan rinci) yang akan ia tanggung setiap melakukan suatu perbuatan. Menurutnya juga, jika ada aturan seperti itu manusia malah akan mencoba akibat sebaliknya dari sebab yang ia lakukan untuk membuktikan bahwa dirinya masih memiliki kebebasan. Dengan kata lain hal ini tidak mungkin, karena menurutnya pilihan bebas adalah keuntungan yang paling menguntungkan bagi setiap manusia, yang tidak dapat dimasukkan ke dalam golongan manapun seperti golongan-golongan lain yang bersifat matematis. Dengan kata lain, akal tidak dapat menguraikan semua aspek yang terjadi pada manusia dari segala akibat dari segala sebab yang dilakukannya tersebut. Akal hanya mengetahui apa yang berhasil dipelajarinya (ada hal-hal tertentu yang tak bisa dipelajari, yang berarti The Underground Man ini juga mempercayai hal-hal mistis yang memang tak bisa dijangkau manusia), sedangkan fitrah manusia bertindak secara keseluruhan, dengan segala hal yang terkandung di dalamnya, sadar atau tidak sadar, peduli atau tidak peduli, hal-hal tersebut akan tetap ada. Akan tetapi tentu, untuk hal-hal mudah dan umum seperti manusia yang terpelajar akan menjadi manusia yang sukses di masa depan dibanding yang tidak masih bisa dibuktikan secara matematik.
“Karena sifatnya yang tidak kenal terima kasih, rasa kesal, manusia masih akan mengakali kita.” Sebuah pernyataan mengenai penggambaran kebutuhan manusia yang paling utama yang disampaikan dengan baik sekali oleh The Underground Man atau dari pemikiran Fyodor Dostoyefsky. Ia memberi contoh bahwa sebagaimanapun manusia terlengkapi kebutuhannya, seperti memiliki kesejahteraan ekonomi, tenggelam dalam laut kebahagiaan, sebegitu rupa hingga ia tak perlu mengerjakan apa-apa kecuali tidur, makan kue, dan menyibukkan diri dengan melanjutkan keturunannya, tapi biarpun begitu manusia tetap tidak akan bahagia hingga ia mendapatkan kebebasannya. “Ia bahkan bersedia mengorbankan kuenya dan dengan sengaja menginginkan sampah yang paling tidak ekonomis, hanya untuk memasukkan unsur fantastisnya yang fatal ke dalam rasa baik yang positif ini.” Hal ini membuktikan bahwa manusia adalah makhluk yang sebenarnya tidak tahan dikuasai, bahkan walaupun ia tetap patuh dalam kekuasaan atas sesuatu tersebut, maka ia akan menjalankannya dengan terpaksa atau ia menjalankannya karena itu adalah pilihan dari kebebasannya sendiri. Darisini kita dapat melihat bahwa manusia akan mematahkan kebahagiaannya demi membuktikan kebenarannya. Ia akan melakukan hal-hal yang konyol dengan sengaja, bahkan kejahatan-kejahatan yang semata karena sifatnya yang tidak mengenal terima kasih, dan lagi hanya untuk membuktikan kebenarannya.
“Aku sependapat bahwa manusia ialah pertama-tama hewan kreatif, yang diciptakan untuk berusaha secara sadar mencapai sesuatu obyek dan melibatkan diri dengan pertukangan—artinya, tak putus-putusnya, dari dulu sampai nanti membuat jalan-jalan baru, kemana pun jalan-jalan ini mengarah.” Dalam pemikirannya yang satu ini, The Underground Man berpendapat bahwa manusia lebih mementingkan usahanya dibanding dengan hasilnya. Manusia boleh saja ambisius untuk mencapai hasilnya, akan tetapi pada akhirnya manusia sadar bahwa ia tidak begitu menginginkan hasilnya dan ingin terus dalam proses usaha itu sendiri. Dalam penjelasan ini, The Underground Man mencoba menjelaskan mengapa manusia menyukai perusakan dan kekacauan. Karena menurutnya “secara naluri ia takut mencapai sasarannya dan menyelesaikan bangunan yang sedang ia kerjakan”, karena siapa tahu dari jauh seseorang begitu mendambakan tujuannya dan ternyata setelah dilihat dan dirasakan dari dekat, dia tidak begitu menyukainya. Sama seperti pernyataannya berikut: ”manusia takut pada kepastian matematik, kita akui bahwa yang tak putus-putusnya dicari manusia ialah kepastian matematis,.., tapi aku yakin ia takut akan berhasil. Ia merasa bahwa jika ia sampai memperolehnya maka tidak tidak akan ada lagi yang tersisa baginya untuk dicari.” Inti dari pemikiran eksistensi bagian ini adalah manusia menjadi eksis pada proses pengusahaannya, dan ia sebetulnya tidak senang kalau yang ia usahakan itu berhasil, tentu saja ketidaksenangan tersebut dirasakan setelah manusia mengerti esensi dari tujuannya tersebut, sehingga “Penderitaan ialah sumber kesadaran satu-satunya.”
“Engkau membanggakan kesadaran, tetapi kau tidak pasti tentang pendapatmu karena biarpun otakmu bekerja, hatimu gelap dan busuk, sedangkan kesadaran yang penuh dan murni tidak bisa dimiliki tanpa hati yang bersih.” Tentu saja, dalam pertanyataan ini The Underground Man memposisikan kesadaran sebagai sesuatu yang membahagiakan, sehingga dalam pernyataan sebelumnya yang dimaksud dengan penderitaan tersebut tidak bertentangan dengan kebahagiaan. Inti pemikirannya adalah penderitaan bisa dijadikan kenikmatan atau kelezatan aneh yang tidak bisa dicampur-baurkan dengan kejahatan karena orang yang jahat, dusta, dsb, tidak akan pernah bisa menikmati esensi dari penderitaan, lalu juga penderitaan merupakan bahan pembentuk kebahagiaan, walaupun ia sama sekali tidak menyebutkan sepatah katapun tentang kebahagiaan, tapi itulah inti pemikirannya dari penalaran saya pribadi. Dan lagi, The Underground Man memiliki kecenderungan untuk tidak terikat pada apapun, bukan karena ia tak ingin terikat, tapi karena ia tahu apa yang jadi resikonya, jadi memang seperti yang ia katakan, ia pintar, ia tahu ia pintar, dan itu tidak begitu menguntungkannya.
Catatan dari Bawah Tanah
Sisi Eksistensialisme The Underground Man:
“Kesadaran yang mana pun juga, sebetulnya suatu penyakit”, sebuah pernyataan yang membandingkan suatu penyakit itu sendiri dengan sebuah kesadaran. Penyakit, pada dasarnya memberikan kesadaran lebih baik karena rasa sakit itu sendiri daripada ketika manusia tidak sedang menderita sakit apapun. The Underground Man juga menyatakan dirinya ingin menjadi serangga, entah agar ia dapat menerima lebih banyak rasa sakit karena serangga pada dasarnya memang sering disakiti, atau karena ia menyatakan bahwa hewan memiliki kesadaran yang amat rendah sehingga rasa sakit itupun tidak berpengaruh besar pada kesadaran mereka. Makin tinggi kesadaran seseorang maka ia akan makin sanggup untuk merasakan yang “baik dan indah”. Rasa atau pengetahuan ini dapat menimbulkan perasaan mampu melakukan perbuatan buruk yang merupakan kontra dari pengetahuan baik dan indah tersebut, tetapi dalam waktu yang bersamaan juga timbul perasaan bahwa perbuatan buruk tersebut tidak boleh terjadi. Sehingga makin sadar diri seseorang, ia juga akan makin menderita karena rasa sakit yang ditimbulkan ooleh pengetahuan akan yang baik dan indah tersebut. Di dalam yang baik dan indah itu juga terdapat suatu pengetahuan bahwa segala hal yang terjadi bukanlah sesuatu yang kebetulan, sehingga rasa untuk melawan penyakit/cacat itu hilang sama sekali. The Underground Man juga menyatakan bahwa di dalam penderitaannya atas rasa sakit itu ia juga menikmati semacam kenikmatan aneh dan penuh rahasia. Ia menggambarkan suatu perbuatan buruk yang senang dilakukannya padahal ia tahu itu buruk dan menjijikan bagi dirinya sendiri, dan hal tersebut tidak bisa ia halangi keterjadiannya karena ia telah mencapai titik maksimal dari usahanya bagi dirinya sendiri untuk mencegahnya. Hal ini menggambarkan sebuah ketetapan hukum alam yang tidak bisa dicegah olehnya, dan akhirnya ia nikmati penderitaan itu karena ia tahu tidak ada jalan keluar dari kesadaran kejatuhan dirinya sendiri yang sangat dalam itu. dapat disimpulkan bahwa menurutnya kita dapat memperoleh kenikmatan dari keputusasaan yang terkandung kenikmatan-kenikmatan yang paling dalam, terutama kalau kita sadar sekali bahwa keadaan kita tidak bisa tertolong lagi. Setiap penderitaan, jelasnya lagi, akan menimbulkan rasa dendam, ia menggambarkan bahwa setiap dendam itu sebenarnya tertuju pada dendam terhadap hukum alam. Baik orang yang memberi penderitaan maupun yang mendendam, itu semua merupakan hukum alam yang memang harus terjadi.
“Erangan ini (sakit gigi) mengutarakan kesadaran bahwa Anda tak punya musuh yang harus Anda hukum”. Dalam contoh mengenai sakit gigi ini, ia menggambarakan bahwa sebagaimanapun kita kesalnya, menginginkan gigi ini berhenti untuk sakit baik dari keinginan dari diri sendiri maupun dari orang lain, gigi tersebut akan tetap menyakiti kita sebagai suatu ketetapan dari hukum alam yang harus terjadi. Dalam erangan-erangan tak berguna yang tetap akan kita lakukan itu, akan membawa kita pada pengakuan dan kerendahan yang di dalamnya terkandung nikmat paling lezat. Hal ini merupakan sebuah bentuk interaksi pada orang lain dimana kita meminta-minta banyak perhatian ataupun pertolongan orang lain tanpa kita merasa malu dengannya karena telah ditutupi oleh rasa sakit tersebut. Dengan kata lain, ia puas telah dapat memberi tahu setiap orang segala hal yang ia rasakan, walaupun segala hal tersebut adalah rasa sakit yang menyentak-nyentak.
“Akal tidak lebih dari akal dan hanya dapat memenuhi kebutuhan aspek rasional sifat manusia, sedangkan kemauan adalah penjelmaan seluruh kehidupan.” Ia memberi contoh pada kehidupan yang bisa diketahui sebab akibatnya bagaikan operasi matematika. Pada akhirnya hal ini dapat menimbulkan hilangnya kebebasan manusia karena ia telah mengetahui segala resiko, segala akibat (dengan rinci) yang akan ia tanggung setiap melakukan suatu perbuatan. Menurutnya juga, jika ada aturan seperti itu manusia malah akan mencoba akibat sebaliknya dari sebab yang ia lakukan untuk membuktikan bahwa dirinya masih memiliki kebebasan. Dengan kata lain hal ini tidak mungkin, karena menurutnya pilihan bebas adalah keuntungan yang paling menguntungkan bagi setiap manusia, yang tidak dapat dimasukkan ke dalam golongan manapun seperti golongan-golongan lain yang bersifat matematis. Dengan kata lain, akal tidak dapat menguraikan semua aspek yang terjadi pada manusia dari segala akibat dari segala sebab yang dilakukannya tersebut. Akal hanya mengetahui apa yang berhasil dipelajarinya (ada hal-hal tertentu yang tak bisa dipelajari, yang berarti The Underground Man ini juga mempercayai hal-hal mistis yang memang tak bisa dijangkau manusia), sedangkan fitrah manusia bertindak secara keseluruhan, dengan segala hal yang terkandung di dalamnya, sadar atau tidak sadar, peduli atau tidak peduli, hal-hal tersebut akan tetap ada. Akan tetapi tentu, untuk hal-hal mudah dan umum seperti manusia yang terpelajar akan menjadi manusia yang sukses di masa depan dibanding yang tidak masih bisa dibuktikan secara matematik.
“Karena sifatnya yang tidak kenal terima kasih, rasa kesal, manusia masih akan mengakali kita.” Sebuah pernyataan mengenai penggambaran kebutuhan manusia yang paling utama yang disampaikan dengan baik sekali oleh The Underground Man atau dari pemikiran Fyodor Dostoyefsky. Ia memberi contoh bahwa sebagaimanapun manusia terlengkapi kebutuhannya, seperti memiliki kesejahteraan ekonomi, tenggelam dalam laut kebahagiaan, sebegitu rupa hingga ia tak perlu mengerjakan apa-apa kecuali tidur, makan kue, dan menyibukkan diri dengan melanjutkan keturunannya, tapi biarpun begitu manusia tetap tidak akan bahagia hingga ia mendapatkan kebebasannya. “Ia bahkan bersedia mengorbankan kuenya dan dengan sengaja menginginkan sampah yang paling tidak ekonomis, hanya untuk memasukkan unsur fantastisnya yang fatal ke dalam rasa baik yang positif ini.” Hal ini membuktikan bahwa manusia adalah makhluk yang sebenarnya tidak tahan dikuasai, bahkan walaupun ia tetap patuh dalam kekuasaan atas sesuatu tersebut, maka ia akan menjalankannya dengan terpaksa atau ia menjalankannya karena itu adalah pilihan dari kebebasannya sendiri. Darisini kita dapat melihat bahwa manusia akan mematahkan kebahagiaannya demi membuktikan kebenarannya. Ia akan melakukan hal-hal yang konyol dengan sengaja, bahkan kejahatan-kejahatan yang semata karena sifatnya yang tidak mengenal terima kasih, dan lagi hanya untuk membuktikan kebenarannya.
“Aku sependapat bahwa manusia ialah pertama-tama hewan kreatif, yang diciptakan untuk berusaha secara sadar mencapai sesuatu obyek dan melibatkan diri dengan pertukangan—artinya, tak putus-putusnya, dari dulu sampai nanti membuat jalan-jalan baru, kemana pun jalan-jalan ini mengarah.” Dalam pemikirannya yang satu ini, The Underground Man berpendapat bahwa manusia lebih mementingkan usahanya dibanding dengan hasilnya. Manusia boleh saja ambisius untuk mencapai hasilnya, akan tetapi pada akhirnya manusia sadar bahwa ia tidak begitu menginginkan hasilnya dan ingin terus dalam proses usaha itu sendiri. Dalam penjelasan ini, The Underground Man mencoba menjelaskan mengapa manusia menyukai perusakan dan kekacauan. Karena menurutnya “secara naluri ia takut mencapai sasarannya dan menyelesaikan bangunan yang sedang ia kerjakan”, karena siapa tahu dari jauh seseorang begitu mendambakan tujuannya dan ternyata setelah dilihat dan dirasakan dari dekat, dia tidak begitu menyukainya. Sama seperti pernyataannya berikut: ”manusia takut pada kepastian matematik, kita akui bahwa yang tak putus-putusnya dicari manusia ialah kepastian matematis,.., tapi aku yakin ia takut akan berhasil. Ia merasa bahwa jika ia sampai memperolehnya maka tidak tidak akan ada lagi yang tersisa baginya untuk dicari.” Inti dari pemikiran eksistensi bagian ini adalah manusia menjadi eksis pada proses pengusahaannya, dan ia sebetulnya tidak senang kalau yang ia usahakan itu berhasil, tentu saja ketidaksenangan tersebut dirasakan setelah manusia mengerti esensi dari tujuannya tersebut, sehingga “Penderitaan ialah sumber kesadaran satu-satunya.”
“Engkau membanggakan kesadaran, tetapi kau tidak pasti tentang pendapatmu karena biarpun otakmu bekerja, hatimu gelap dan busuk, sedangkan kesadaran yang penuh dan murni tidak bisa dimiliki tanpa hati yang bersih.” Tentu saja, dalam pertanyataan ini The Underground Man memposisikan kesadaran sebagai sesuatu yang membahagiakan, sehingga dalam pernyataan sebelumnya yang dimaksud dengan penderitaan tersebut tidak bertentangan dengan kebahagiaan. Inti pemikirannya adalah penderitaan bisa dijadikan kenikmatan atau kelezatan aneh yang tidak bisa dicampur-baurkan dengan kejahatan karena orang yang jahat, dusta, dsb, tidak akan pernah bisa menikmati esensi dari penderitaan, lalu juga penderitaan merupakan bahan pembentuk kebahagiaan, walaupun ia sama sekali tidak menyebutkan sepatah katapun tentang kebahagiaan, tapi itulah inti pemikirannya dari penalaran saya pribadi. Dan lagi, The Underground Man memiliki kecenderungan untuk tidak terikat pada apapun, bukan karena ia tak ingin terikat, tapi karena ia tahu apa yang jadi resikonya, jadi memang seperti yang ia katakan, ia pintar, ia tahu ia pintar, dan itu tidak begitu menguntungkannya.
Minggu, 05 Desember 2010
Terima kasih
Sudah satu tahun setengah aku di UI, dan aku masih mencari kebahagiaan yang sama seperti yang kudapatkan dulu, sayang aku belum menemukannya hingga saat ini, tapi yang kulihat, Allah sengaja membiarkanku untuk mencarinya tanpa memberi pikiran untuk menyerah.
Tepat saat aku kelas 11, aku memilih tempat duduk yang paling depan, dekat dengan meja guru, aku sengaja memilih tempat itu agar tidak ada satupun yang berniat duduk denganku, karena yah... cowok tidak suka tempat duduk depan yg dekat guru kan? dan rencanaku berhasil.
Aku masih belum bisa menyadari eksistensiku waktu itu (berfilsafat. red) intinya aku masih polos (bocah) sekali, mudah untuk ditipu dan mudah untuk tersinggung. Aku mengenal persahabatan yang sangat bagus, berbeda dengan masa SMP atau SDku dulu. Di paskibraku, aku seperti punya kakak yang sangat perhatian denganku, satu hal yang sebelumnya belum pernah aku miliki, lalu aku punya teman-teman yang siap berkorban untukku, tanpa sadar aku sangat mencintai mereka, padahal aku masuk paskib ini karena kecelakaan dan sampai aku lulus aku tetap rutin mengikuti pertemuan ataupun latihannya, sesuatu yang jarang aku lakukan.
Sampai ke kelas 11 ini aku berniat untuk tidak berteman dengan siapapun kecuali mungkin anak2 paskib. Jujur saja, banyak sekali sakit hati yang kuhadapi karena memang akibat kebodohanku sendiri. Disebelah tempat dudukku ada sheilla dan lusi, lalu dibelakangku ada sekar dan nindya. Aku mudah bergaul dengan sheilla dan lusi karena pada dasarnya wanita berjilbab itu tidak berisiko untuk dijadikan teman karena mereka baik, dewasa, dan bisa diandalkan (untuk hal2 baik juga tentunya). Lalu aku tak tahu apa yang Allah rencanakan untuk menyempurnakan kebahagiaan atas persabatanku, dan munculah si rahmad itu. Sepertinya dia sama denganku, polos, tapi dia lebih sering menerima kepahitan hidup jadi dia lebih dewasa dariku. Hal mengerikan yang tak bisa kulupakan (sekarang malah kutulis) dengannya adalah ketika aku sok memarah-marahi dia saat pelantikannya, itu hal paling mengerikan ke-2 setelah pengalaman menulis surat marah kepada seseorang (nah, kutulis lagi, toh aku tidak bisa melupakannya).
Banyak hal luar biasa yang kulalui saat kelas 11 dan 12. Hal yang kukira tidak bisa dimengerti oleh filsus-filsuf barat itu. Mungkin banyak orang menganggap bahwa aku sakit hati ketika dimarah2i kakak kelas ataupun ditampar olehnya, tapi kenyataannya tidak, memang aku takut, tapi didalam sini aku merasa sangat bahagia, apalagi dengan adanya teman-teman yang selalu bersamaku. Itu semua pengalaman di paskibraku selama 2 tahunan dan ditutup dengan ending paling membahagiakan sedunia, sebuah ending yang tidak akan dimengerti oleh orang yang hanya melihat dari luar objek, yaitu paskibraku mendapat juara harapan 1.
Lalu di Sc2 juga aku mempelajari banyak hal, pernah saat wudhu aku terpikir bagaimana jadinya ketika aku keluar dari sini nanti, aku sudah sangat bahagia di sini, aku masih ingin belajar banyak hal lagi dari mereka, tapi toh aku akan keluar, aku akan mencari teman baru dan pengalaman baru yang sama dengan kebahagiaan murni yang kudapat di sini. Mereka, benar-benar aneh dan mengagumkan, mereka tidak sempurna, bukan penemu luar biasa, bukan orang hebat yang luar biasa juga, tapi kesatuan mereka benar-benar bisa mengalahkan apapun, aku belum pernah melihat sebelumnya, penyatuan pribadi masing-masing orang yang saling melengkapi, saling membahagiakan, dan saling memberi kesetiaan. Tentu saja di kesatuan ini hal-hal yang paling penting ternyata adalah guru-guruku sendiri, yang menjadi bearer atas kesatuan itu jika terjadi cekcok ataupun ancaman atas persahabatan kami. Guru2 smavo semuanya luar biasa, semuanya baik2, mengapa bisa begitu ak juga tidak tahu. Aku merasa tidak pantas meninggalkan mereka begitu saja tanpa membalas mereka dengan budi yang setimpal yang tak mungkin bisa kulakukan.
Tapi tentu saja, diatas semua itu haruslah ada Allah dan keluarga, aku belum begitu merasa bersyukur secara spontan (aku memaksakannya tentu). Walaupun begitu tetap saja diantara kami ada hubungan kuat yang tidak kami sadari, kadang2 aku ngeri, membayangkan salah satu dari kami kesakitan atau apa, aku tidak keberatan jika manusia meninggal karena toh memang harus dihadapi, tapi aku harap bukan meninggal yang sakit dan terhina.
Aku bersyukur bisa bertemu kalian, teman-teman paskibra, science 2, dan guru-guruku tersayang. Dan aku juga bersyukur sekali kita berpisah ketika kita sedang bahagia, bukan karena ada konflik atau apa, walau memang aku jadi rindu sekali.
Thank you again :)
Tepat saat aku kelas 11, aku memilih tempat duduk yang paling depan, dekat dengan meja guru, aku sengaja memilih tempat itu agar tidak ada satupun yang berniat duduk denganku, karena yah... cowok tidak suka tempat duduk depan yg dekat guru kan? dan rencanaku berhasil.
Aku masih belum bisa menyadari eksistensiku waktu itu (berfilsafat. red) intinya aku masih polos (bocah) sekali, mudah untuk ditipu dan mudah untuk tersinggung. Aku mengenal persahabatan yang sangat bagus, berbeda dengan masa SMP atau SDku dulu. Di paskibraku, aku seperti punya kakak yang sangat perhatian denganku, satu hal yang sebelumnya belum pernah aku miliki, lalu aku punya teman-teman yang siap berkorban untukku, tanpa sadar aku sangat mencintai mereka, padahal aku masuk paskib ini karena kecelakaan dan sampai aku lulus aku tetap rutin mengikuti pertemuan ataupun latihannya, sesuatu yang jarang aku lakukan.
Sampai ke kelas 11 ini aku berniat untuk tidak berteman dengan siapapun kecuali mungkin anak2 paskib. Jujur saja, banyak sekali sakit hati yang kuhadapi karena memang akibat kebodohanku sendiri. Disebelah tempat dudukku ada sheilla dan lusi, lalu dibelakangku ada sekar dan nindya. Aku mudah bergaul dengan sheilla dan lusi karena pada dasarnya wanita berjilbab itu tidak berisiko untuk dijadikan teman karena mereka baik, dewasa, dan bisa diandalkan (untuk hal2 baik juga tentunya). Lalu aku tak tahu apa yang Allah rencanakan untuk menyempurnakan kebahagiaan atas persabatanku, dan munculah si rahmad itu. Sepertinya dia sama denganku, polos, tapi dia lebih sering menerima kepahitan hidup jadi dia lebih dewasa dariku. Hal mengerikan yang tak bisa kulupakan (sekarang malah kutulis) dengannya adalah ketika aku sok memarah-marahi dia saat pelantikannya, itu hal paling mengerikan ke-2 setelah pengalaman menulis surat marah kepada seseorang (nah, kutulis lagi, toh aku tidak bisa melupakannya).
Banyak hal luar biasa yang kulalui saat kelas 11 dan 12. Hal yang kukira tidak bisa dimengerti oleh filsus-filsuf barat itu. Mungkin banyak orang menganggap bahwa aku sakit hati ketika dimarah2i kakak kelas ataupun ditampar olehnya, tapi kenyataannya tidak, memang aku takut, tapi didalam sini aku merasa sangat bahagia, apalagi dengan adanya teman-teman yang selalu bersamaku. Itu semua pengalaman di paskibraku selama 2 tahunan dan ditutup dengan ending paling membahagiakan sedunia, sebuah ending yang tidak akan dimengerti oleh orang yang hanya melihat dari luar objek, yaitu paskibraku mendapat juara harapan 1.
Lalu di Sc2 juga aku mempelajari banyak hal, pernah saat wudhu aku terpikir bagaimana jadinya ketika aku keluar dari sini nanti, aku sudah sangat bahagia di sini, aku masih ingin belajar banyak hal lagi dari mereka, tapi toh aku akan keluar, aku akan mencari teman baru dan pengalaman baru yang sama dengan kebahagiaan murni yang kudapat di sini. Mereka, benar-benar aneh dan mengagumkan, mereka tidak sempurna, bukan penemu luar biasa, bukan orang hebat yang luar biasa juga, tapi kesatuan mereka benar-benar bisa mengalahkan apapun, aku belum pernah melihat sebelumnya, penyatuan pribadi masing-masing orang yang saling melengkapi, saling membahagiakan, dan saling memberi kesetiaan. Tentu saja di kesatuan ini hal-hal yang paling penting ternyata adalah guru-guruku sendiri, yang menjadi bearer atas kesatuan itu jika terjadi cekcok ataupun ancaman atas persahabatan kami. Guru2 smavo semuanya luar biasa, semuanya baik2, mengapa bisa begitu ak juga tidak tahu. Aku merasa tidak pantas meninggalkan mereka begitu saja tanpa membalas mereka dengan budi yang setimpal yang tak mungkin bisa kulakukan.
Tapi tentu saja, diatas semua itu haruslah ada Allah dan keluarga, aku belum begitu merasa bersyukur secara spontan (aku memaksakannya tentu). Walaupun begitu tetap saja diantara kami ada hubungan kuat yang tidak kami sadari, kadang2 aku ngeri, membayangkan salah satu dari kami kesakitan atau apa, aku tidak keberatan jika manusia meninggal karena toh memang harus dihadapi, tapi aku harap bukan meninggal yang sakit dan terhina.
Aku bersyukur bisa bertemu kalian, teman-teman paskibra, science 2, dan guru-guruku tersayang. Dan aku juga bersyukur sekali kita berpisah ketika kita sedang bahagia, bukan karena ada konflik atau apa, walau memang aku jadi rindu sekali.
Thank you again :)
Kamis, 02 Desember 2010
Kebahagiaan
Kebahagiaan membuatku menangis, membuatku tak bisa berkata-kata
Kebahagiaan membuatku tak mampu memikirkan yang lain, membuatku lupa akan makan, dan kesenangan duniawi lainnya
Kebahagiaan membuatku rindu, rindu padanya di masa lalu
Kebahagiaan membuatku lelah, membuat energiku habis tak tersisa, hanya untuk bahagia
Kebahagiaan membakar kesombonganku, keegoisanku, juga memberi kebersamaan yang hangat
Kebahagiaan memberiku impian untuk masa depanku, dan kebanggaan pada diriku sendiri hari ini
Kebahagiaan juga membuatku kuat, membuatku bisa mengalahkan diriku sendiri tanpa melawannya
Aku kangen pada kebahagiaan, setelah terpaksa meninggalkannya sekali, ternyata aku tak bisa menemukannya lagi sampai hari ini.
Tapi ternyata kebahagiaanku di masa lalu masih memberiku pengetahuan untuk masa depan, pengetahuan untuk mencarinya kembali dan tidak tertarik pada kesenangan semu untuk meninggalkannya.
Bahkan mencari kebahagiaan membuatku merasa bahagia, membuatku merasa setia pada kenangan-kenangan yang dulu.
Kebahagiaanku terletak pada kebersamaan, dan impian untuk dikejar bersama-sama.
Kebahagiaan membuatku tak mampu memikirkan yang lain, membuatku lupa akan makan, dan kesenangan duniawi lainnya
Kebahagiaan membuatku rindu, rindu padanya di masa lalu
Kebahagiaan membuatku lelah, membuat energiku habis tak tersisa, hanya untuk bahagia
Kebahagiaan membakar kesombonganku, keegoisanku, juga memberi kebersamaan yang hangat
Kebahagiaan memberiku impian untuk masa depanku, dan kebanggaan pada diriku sendiri hari ini
Kebahagiaan juga membuatku kuat, membuatku bisa mengalahkan diriku sendiri tanpa melawannya
Aku kangen pada kebahagiaan, setelah terpaksa meninggalkannya sekali, ternyata aku tak bisa menemukannya lagi sampai hari ini.
Tapi ternyata kebahagiaanku di masa lalu masih memberiku pengetahuan untuk masa depan, pengetahuan untuk mencarinya kembali dan tidak tertarik pada kesenangan semu untuk meninggalkannya.
Bahkan mencari kebahagiaan membuatku merasa bahagia, membuatku merasa setia pada kenangan-kenangan yang dulu.
Kebahagiaanku terletak pada kebersamaan, dan impian untuk dikejar bersama-sama.
Sabtu, 31 Juli 2010
The best of my UPACARA BENDERA
Hari Senin, Tgl xxx, Bulan xxx, Tahun xxx (lupa...!)
Hari ini pertama kalinya bgt ak masuk sekolah setelah sakit types n opname d rmah sakit. Seneng banget, secara udah berminggu-minggu ga liat sekolah, n yang bikin tambah seneng lagi ak ksini pke baju pdh (paskib), my lovely ekskul...
Karena ini hari senin, pastinya ada upacara bendera dong, krna kebetulan lowongan jadi tura kosong, jdi ak ngotot2 buat nempatin posisi itu, ga tau diri bgt ya ak, padahal abis sakit gini.
So, jadilah ak tura, lumayan buat menuhin rasa kangenku gitu. Pas disebelahku ada bambang yg bawain naskah pancasila, di lapangan ada anak klas 1, 2, 3 +anak paskib yg misahin diri mulai dari junior ampe senior, dan yg terpenting wiw... pembina upacaranya polisi!, ak punya dugaan dia bakal lama khotbahnya ni...
Pas mulai upacara aku mikir, 'ni beneran gakpapa jadi tura abis sakit types gini?', ga lucu banget kan kalo pingsan di depan seluruh hadirat dan hadirin n pake baju paskib segala, mana bisa malu2in anak kelas 2 paskib alias angkatanku lagi. Ah, pokoknya mau pingsan se-pingsan apapun harus kutahan. Eeeen, the chaos begin.
Pas ak udah PERSIS di sebelahnya pak polisi pandangan+pendengaranku udah berasa aneh aja.
Pak Polisi : Jadi... Adik2 tau kan berbahayanya narkoba serta bla bla bla............
Aku : ......... (Duh, napa nih?? kenapa orang2 di lapangan jadi berduplikat tiga gitu??)
Pak Polisi : bla bla bla bla......
Aku : (Mati gua!! Aduh, Gimana nih!! Ga bisa nahan!! Harus balik harus balik!!)
Jadilah ak balik kanan (ala paskibra dong...) pas pak polisi ceramah puanjaaang lebaaar tentang narkoba, ak pengen masuk k kelas yg persis di depanku, tapi curiga dikunci ni kelas, so... ak balik kiri ke tempat bambang yang lagi nganga disana.
Dan, Zeeeeep.... Gelap... Kukira ak udah jatoh terus pingsan, tapi ternyata ga! ak masih jalan!!(gara2 jiwa paskibku x ya, hahaha... apa coba) Walau emang pingsan juga ak bisa ngerasain ak masih jalan, 'mudah2an bisa sampe ke tempat bambang' pikirku, tiba-tiba aja...
DUAGGGGGGHHHH!!!!!
WAAAAAAAAAaaaaaaaa.......
Pas sadar ak udah ditidurin di atas meja, dikelilingi para Ibu guru yang sibuk banget mijitin ak, mana itu guru biologiku (bukan bu kris lho) mijitnya sakit banget lagi, dikiranya ak adonan bolu x ya...
Bu endang : Udah bangun udah bangun! (ngomong sama anak PMR + Para ibu guru), kamu gak papa fal??
Aku : Iya, gak papa bu... (sambil meringis2, 'Duh! buk! Stop napa mijitnyaaaaa!!!')
Bu endang : Jangan bohong kamu!, kamu serius gak papa?? (khawatir banget ngeliat ak meringis, saya kesakitan bukan kena asam lambung buuk...)
Akhirnya bu endang langsung keluar kelas buat nelpon ortuku, setelah sekian menit (nahan) tersiksa dipijit, ak mikir, kok kepalaku sakit gini ya... Bukan di dalemnya tapi diluarnya... Terus ak kepikiran anak2 paskib, duh maaaaak malu2in abis, di depan junior lagi!!...
Dan bener aja, besoknya begitu ak masuk kelas temen2ku langsung pada ketawa (QQ: Duh, maaf banget ya fal ak ketawa, abis lucu banget siiiih...). Ak nanya kejadian rincinya sama mereka, secara ak pingsan, mana mungkin inget ak jatohnya kayak apa...
Ternyata abis jalan pingsan itu aku nambrak tiang tembok.
Terus ak meluk2 tu tiang sambil jatoh perlahan-lahan.
Terus khotbah pak polisi kepotong gara2 anak2 di seluruh lapangan ketawa semua (termasuk anak2 paskib!)
Terus ak ditangkep ma guru-guru disampingku (ketabrak tiang tembok persis dibelakang mereka)
Amnesia mode on.
Dan kejadian ini ga dikenang ak doang (ya iyalah, orang selapangan gitu ngeliat)
Pas sepupuku dari probolinggo pindah ke smavo, dia nanya ke 'temen-temennya' apa dia kenal ak ato ga dan semuanya jawab gini:
"Kak Nofal??, Yang pingsan nabrak tembok pas upacara itu ya??, hahahahaha...."
Aku : *korek2 lantai*
Hari ini pertama kalinya bgt ak masuk sekolah setelah sakit types n opname d rmah sakit. Seneng banget, secara udah berminggu-minggu ga liat sekolah, n yang bikin tambah seneng lagi ak ksini pke baju pdh (paskib), my lovely ekskul...
Karena ini hari senin, pastinya ada upacara bendera dong, krna kebetulan lowongan jadi tura kosong, jdi ak ngotot2 buat nempatin posisi itu, ga tau diri bgt ya ak, padahal abis sakit gini.
So, jadilah ak tura, lumayan buat menuhin rasa kangenku gitu. Pas disebelahku ada bambang yg bawain naskah pancasila, di lapangan ada anak klas 1, 2, 3 +anak paskib yg misahin diri mulai dari junior ampe senior, dan yg terpenting wiw... pembina upacaranya polisi!, ak punya dugaan dia bakal lama khotbahnya ni...
Pas mulai upacara aku mikir, 'ni beneran gakpapa jadi tura abis sakit types gini?', ga lucu banget kan kalo pingsan di depan seluruh hadirat dan hadirin n pake baju paskib segala, mana bisa malu2in anak kelas 2 paskib alias angkatanku lagi. Ah, pokoknya mau pingsan se-pingsan apapun harus kutahan. Eeeen, the chaos begin.
Pas ak udah PERSIS di sebelahnya pak polisi pandangan+pendengaranku udah berasa aneh aja.
Pak Polisi : Jadi... Adik2 tau kan berbahayanya narkoba serta bla bla bla............
Aku : ......... (Duh, napa nih?? kenapa orang2 di lapangan jadi berduplikat tiga gitu??)
Pak Polisi : bla bla bla bla......
Aku : (Mati gua!! Aduh, Gimana nih!! Ga bisa nahan!! Harus balik harus balik!!)
Jadilah ak balik kanan (ala paskibra dong...) pas pak polisi ceramah puanjaaang lebaaar tentang narkoba, ak pengen masuk k kelas yg persis di depanku, tapi curiga dikunci ni kelas, so... ak balik kiri ke tempat bambang yang lagi nganga disana.
Dan, Zeeeeep.... Gelap... Kukira ak udah jatoh terus pingsan, tapi ternyata ga! ak masih jalan!!(gara2 jiwa paskibku x ya, hahaha... apa coba) Walau emang pingsan juga ak bisa ngerasain ak masih jalan, 'mudah2an bisa sampe ke tempat bambang' pikirku, tiba-tiba aja...
DUAGGGGGGHHHH!!!!!
WAAAAAAAAAaaaaaaaa.......
Pas sadar ak udah ditidurin di atas meja, dikelilingi para Ibu guru yang sibuk banget mijitin ak, mana itu guru biologiku (bukan bu kris lho) mijitnya sakit banget lagi, dikiranya ak adonan bolu x ya...
Bu endang : Udah bangun udah bangun! (ngomong sama anak PMR + Para ibu guru), kamu gak papa fal??
Aku : Iya, gak papa bu... (sambil meringis2, 'Duh! buk! Stop napa mijitnyaaaaa!!!')
Bu endang : Jangan bohong kamu!, kamu serius gak papa?? (khawatir banget ngeliat ak meringis, saya kesakitan bukan kena asam lambung buuk...)
Akhirnya bu endang langsung keluar kelas buat nelpon ortuku, setelah sekian menit (nahan) tersiksa dipijit, ak mikir, kok kepalaku sakit gini ya... Bukan di dalemnya tapi diluarnya... Terus ak kepikiran anak2 paskib, duh maaaaak malu2in abis, di depan junior lagi!!...
Dan bener aja, besoknya begitu ak masuk kelas temen2ku langsung pada ketawa (QQ: Duh, maaf banget ya fal ak ketawa, abis lucu banget siiiih...). Ak nanya kejadian rincinya sama mereka, secara ak pingsan, mana mungkin inget ak jatohnya kayak apa...
Ternyata abis jalan pingsan itu aku nambrak tiang tembok.
Terus ak meluk2 tu tiang sambil jatoh perlahan-lahan.
Terus khotbah pak polisi kepotong gara2 anak2 di seluruh lapangan ketawa semua (termasuk anak2 paskib!)
Terus ak ditangkep ma guru-guru disampingku (ketabrak tiang tembok persis dibelakang mereka)
Amnesia mode on.
Dan kejadian ini ga dikenang ak doang (ya iyalah, orang selapangan gitu ngeliat)
Pas sepupuku dari probolinggo pindah ke smavo, dia nanya ke 'temen-temennya' apa dia kenal ak ato ga dan semuanya jawab gini:
"Kak Nofal??, Yang pingsan nabrak tembok pas upacara itu ya??, hahahahaha...."
Aku : *korek2 lantai*
Senin, 07 Juni 2010
Tuhan, Manusia, dan Eskatologi
A. Tuhan Sebagai Personal atau Impersonal
Tuhan adalah hal paling penting dalam ajaran setiap agama dan masalah paling pokok dalam filsafat. Setiap agama tidak dapat disebut sebaga ‘agama’ apabila ia tidak memiliki Tuhan untuk disembah. Begitu juga dengan filsafat, yang dimana hal ini merupakan permasalahan terbesar di dalamnya.
Sebagian filsuf Yunani banyak yang meributkan konsep-konsep alam sehingga tanpa mereka sadari merujuk pada konsep Tuhan juga. Sedangkan Plato dan Aristoteles, telah mengemukakan pendapat yang sudah sampai memikirkan sesuatu realitas di luar alam. Konsep-konsep mereka tentang Tuhan telah tergambar dengan baik sehingga menjadi akar pemikiran filsuf-filsuf selanjutnya. Dari Plato sendiri menamakannya dengan Ide Kebaikan dan Aristoteles menyebutnya dengan Sebab Utama atau Penggerak Yang Tidak Bergerak. Walaupun para filsuf telah mampu mengetahui realitas tertinggi dari semua wujud, realitas itu belum sampai kepada konsep utuh yang diinginkan oleh agama karena Tuhan dalam filsafat masih bersifat impersonal, bukan Tuhan sebagai personal.
Pada prinsipnya, Tuhan yang personal dan Tuhan yang impersonal dapat dibedakan dalam berbagai segi, yaitu :
1. Tuhan personal menekankan pada identitas Tuhan sebagai zat yang sempurna dan perlu disembah sebagai wujud pengabdian makhluk kepada penciptanya. Tuhan impersonal tidak mempersoalkan identitas Tuhan, tetapi yang terpenting adalah ide tentang Tuhan merupakan konsekuensi logis dari keberadaan wujud. Karena itu, Tuhan impersonal tidak disembah dan dipuja.
2. Tuhan personal berasal dari petunjuk wahyu, sedangkan Tuhan impersonal berasal dari kesimpulan pemikiran manusia. Karena itu, Tuhan dalam agama adalah Zat Pencipta dan sekaligus Pemelihara alam. Sedangkan dalam filsafat, Tuhan hanya sebagai Sebab Awal dan tujuan segala wujud.
3. Tuhan personal mengakui bahwa Tuhan adalah Zat yang sama sekali berbeda dengan makhluk. Perbedaan itu terletak pada sifat Tuhan Yang Maha Kuasa, Maha Mengetahui, dan Maha Adil. Karena perbedaan yang begitu besar, makhluk, terutama manusia mempunyai kewajiban untuk mengadakan hubungan baik dengan Tuhan agar sifat-sifat yang begitu baik bisa tersalurkan dalam diri mereka. Hubungan itu dilakukan dengan memperbanyak ibadah dan ritual-ritual keagamaan. Tuhan impersonal tidak mempersoalkan hubungan baik dengan Tuhan itu sebab Tuhan adalah hasil ide manusia saja atau sebuah Zat yang dimensinya terputus oleh dimensi makhlukNya.
4. Tuhan personal menonjolkan perbedaan antara makhluk dengan Tuhan sebagai Pencipta, sedangkan dalam Tuhan yang impersonal berusaha atau tidak memperdulikan perbedaan tersebut dengan menganggap manusia sebagai bagian dari diriNya, bahkan dalam panteisme misalnya, perbedaan antara Tuhan dan makhluk hilang sama sekali.
Pada kenyataannya agama memang bukan filsafat, tetapi menurut Gilson, ajaran agama mengajukan prinsip-prinsip yang kaya akan prinsip-prinsip filsafat. Karena itu, ia dapat membantu perncarian akal terhadap Tuhan. Arogansi akal untuk dapat secara mandiri menemukan Tuhan tanpa sinaran wahyu, adalah sesuatu yang naïf. Dan hal itu telah terbukti dalam pencarian para filsuf Yunani, bahkan ketika Descartes berusaha memisahkan filsafat dari agama.
Terhadap juga gugatan yang sering dimunculkan para saintis, Gilson menilai pernyataan semacam itu muncul karena ketidaksiapan menerima kenyataan bahwa agama dan filsafat (juga sains) adalah dua lanskap yang seharusnya dapat bertemu. Karena sains menjawab pertanyaan tentang bagaimana, sedangkan agama menjawab tentang mengapa. Hanya saja tidak banyak orang yang berani mengakuinya. Para sains atau filsuf kontemporer yang terpikat oleh daya pesona rasio telah kehilangan selera terhadap metafisika dan agama. Sementara yang lain, karena terlalu khusuk dalam berkontemplasi menyadari bahwa metafisika dan agama seharusnya dapat dipertemukan tetapi tidak tahu di mana dan bagaimana. Karena itu ada yang kemudian memisahkan agama dari filsafat, atau meninggalkan agama demi fisafat atau sebaliknya. Padahal hal tersebut, dalam pandangan Gilnson tidak perlu terjadi. Dan menurutnya orang yang dapat melakukan hal itu adalah mereka yang dapat menyatukan bahwa Tuhan filosof adalah Tuhan yang juga dipeluk oleh Ibrahim, Ishaq dan Ya’kub.
B. Kekuasaan Mutlak Tuhan dengan Kebebasan Manusia.
Terdapat dua konsep ekstrem yang menyatakan hubungan Tuhan dan manusia ditinjau dari sifat kekuasaan mutlak Tuhan dan kebebasan manusia. Konsep pertama mengatakan bahwa Tuhan Maha Kuasa, manusia tidak bebas berkehendak dan berbuat, yang dapat disimpulkan bahwa perbuatan manusia sebenarnya adalah perbuatan Tuhan. Dalam bahasa Inggris hal ini disebut predestination (fatalisme). Lalu konsep kedua yang mengatakan bahwa perbuatan manusia kebebasannya sendiri, sedangkan Tuhan hanya berperan menciptakan sifat/daya kebebasan itu pada manusia. Dalam bahasa Inggris hal ini disebut dengan free will.
Baik dalam paham predestination ataupun free will, hampir terdapat di semua agama dan memunculkan persoalan yang selalu dibahas oleh para teolog dan filsuf. Berbagai cara dicari untuk menyelesaikan persoalan tersebut, namun belum ada hasil yang benar-benar memuaskan semua pihak. Dalam teologi Islam terdapat beberapa golongan yang membahas persoalan tersebut seperti Mu’tazilah, Asya’ariah, dan Maturidiah.
Golongan Mu’tazilah pada dasarnya lebih dekat pada paham Qadariah. Al-Jubba’i, salah seorang tokoh Mu’tazilah, berpendapat bahwa manusialah yang menciptakan perbuatannya, manusia berbuat baik dan buruk, patuh dan tidak patuh kepada Tuhan. Pendapat yang sama juga dikemukakan ‘Abd jabbar. Menurutnya, perbuatan manusia bukanlah ciptaan Tuhan pada diri manusia, tetapi manusia sendirilah yang mewujudkan perbuatan itu. Perbuatan dihasilkan dari daya yang bersifat baru, yang sebenarnya bukan perbuatan tuhan. Sehingga Manusia adalah makhluk yang bebas untuk memilih.
Berbeda dengan golongan Mu’tazilah, golongan Asy’ariah berpendapat bahwa perbuatan manusia pada hakikatnya adalah perbuatan Tuhan, hanya saja manusia memiliki kemampuan yang disebut kasb (perolehan). Kasb adalah sesuatu yang terjadi dengan perantaraan daya yang diciptakan dan dengan demikian menjadi perolehan bagi seseorang yang dengan daya itu perbuatannya timbul. Kasb itu sendiri adalah ciptaan Tuhan, sehingga menghilangkan arti keaktifan itu sendiri.
Dalam memahami kehendak mutlak dan keadilan Tuhan, aliran Maturidiah terpisah menjadi dua aliran, yaitu Maturidiyah Samarqand dan Maturidiyah Bukhara. Pemisahan ini disebabkan perbedaan keduanya dalam menentukan porsi penggunaan akal dan pemberian batas terdapat kekuasaan mutlak Tuhan. Kehendak mutlak Tuhan menurut Maturidiyah Samarqand, dibatasi oleh keadilan Tuhan. Tuhan adil mengandung arti bahwa segala perbuatan-Nya adalah baik dan tidak mampu untuk berbuat buruk serta tidak mengabaikan kewajiban-kewajiban-Nya terhadap manusia. Adapun Maturidiyah Bukhara berpendapat bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan mutlak. Tuhan berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya dan menentukan segala-galanya. Tidak ada larangan bagi Tuhan terletak pada kehendak mutlak-Nya tidak ada suatu dzat pun yang lebih berkuasa dari pada-Nya dan tidak ada batasan-batasan bagi-Nya tampaknya aliran Maturidiyah Samarqand lebih dekat dengan Asy`ariyah Al-Bazdaqi mengatakan bahwa Tuhan tidak mempunyai tujuan dan tidak mempunyai unsur pendorong untuk menciptakan cosmos. Tuhan berbuat sekedendak-Nya sendiri. Ini berarti bahwa alam tidak diciptakan Tuhan untuk kepentingan manusia atau dengan kata lain. Konsep lain keadilan Tuhan bukan diletakkan untuk kepentingan manusia tetapi pada Tuhan sebagai pemilik mutlak.
C. Hidup Sesudah Mati
Keadaan sesudah mati adalah misteri di atas misteri karena kematian adalah faktayang setiap manusia akan mengalaminya dan tidak dapat mengetahui (bagi subyek yang berusaha memisahkan diri dari obyek sehingga belum pernah mengalaminya) apa yang terjadi setelahnya.
Misteri mati ini pulalah yang menyibukkan para pemikir mengungkapkan beberapa teori tentang kematian dan implikasinya. Sigmund Freud, ahli psikoanalisis mengatakan bahwa yang paling ditakuti oleh manusia adalah kematian. Karena kematian itu tidak dapat ditolak, dia mencari perlindungan kepada hal yang bersifat supernatural, yaitu Tuhan. Tuhan adalah imajinasi dia sendiri yang seakan-akan dapat membantu menyelesaikan misteri yang paling ditakutinya. Jadi, menurut Freud manusia yang percaya kepada Tuhan adalah manusia yang lemah dan butuh perlindungan kepada zat yang lebih besar.
Sattre, seorang tokoh eksistensialis yang sangat menegaskan kebebasan manusia, akhirnya dia mengakui bahwa manusia tidak bebas lagi ketika menghadapi kematian. Bagi Settre, maut adalah sesuatu yang absurd karena kenyataan bahwa maut tidak bisa ditunggu, melainkan hanya bisa diharapkan akan datang. Tetapi, kapan datangnya maut tidak ada yang dapat memastikannya. Kita tidak memiliki pilihan lain lagi, maut adalah kepastian, yaitu nistanya kita sebagai eksistensi. Dengan kematian, eksistensi berakhir dan kita kembali ke esensi, kata Sattre.
Agama tanpa ada doktrin hidup sesudah mati bagaikan bergantung tali, karena kepercayaan kepada akhirat itu merupakan pegangan dan sekaligus faktor yang mendorong pemeluk agama taat beribadat, berakhlak mulia, dan menjalankan semua perintah Tuhan. Kalau memang kita berbuat baik hanya mengharapkan hasilnya di dunia, seseorang tidak perlu mempercayai adanya akhirat. Akan tetapi setiap manusia sering mendapatkan perlakuan yang tidak adil di dunia sehingga keadaan yang demikian mendorong manusia untuk mencari keadilan ‘sempurna’, sesuatu yang hanya bisa didapatkan di dunia yang ‘sempurna’ juga’.
Dalam filsafat Islam perbincangan tentang eskatologi menjadi sebuah bidang tersendiri sebagai refleksi pengungkapan dimensi-dimensi metafisis dan ketuhanan yang berlandaskan pada ayat-ayat yang termaktub di dalam al-Qur’ān. Walaupun demikian pembahasan tentang eskatologi ini mengundang perdebatan yang sangat krusial di antara para pemikir Islam, filsuf, dan lain sebagainya. Seperti Imam al-Ghazali yang cenderung mengkafirkan para filsuf yang diwakili oleh al-Farabi dan Ibn Sina karena tiga sebab yang salah satunya adalah persoalan eskatologis.
Salah satu contoh filsuf islam, Ibn Sina berpendapat bahwa jiwa manusia diciptakan bersamaan dengan jasad, tetapi jiwa itu bersifat kekal. Ia juga berpendapat bahwa sesuatu yang dirusak dikarenakan oleh faktor lain maka sudah sepatutnya juga ia bergantung padanya. Namun, jiwa terpisah wujudnya dari jasad karena tidak mungkin jiwa tergantung pada tubuh, sedangkan jiwa telah ditetapkan sebagai esensi yang berdiri sendiri. Jiwa juga tidak mendahului jasad karena kalau kiwa mendahuluinya terkesan jasad yang menyebabkan jiwa, dan jiwa seakan-akan ada untuk mengabdi pada jasad. Jadi, dalam hal ini tidak ada hubungannya dengan kausalitas. Hubungan jasad dengan jiwa menurut Ibn Sina bukan hubungan korelatif atau keharusan, melainkan hubungan tuan dengan hambanya atau antara pemilik dengan miliknya. Pemilik tidak akan terpengaruh walaupun miliknya berubah. Jiwa adalah yang memerintah dan jasad yang diperintah, bukan kebalikannya.
Tuhan adalah hal paling penting dalam ajaran setiap agama dan masalah paling pokok dalam filsafat. Setiap agama tidak dapat disebut sebaga ‘agama’ apabila ia tidak memiliki Tuhan untuk disembah. Begitu juga dengan filsafat, yang dimana hal ini merupakan permasalahan terbesar di dalamnya.
Sebagian filsuf Yunani banyak yang meributkan konsep-konsep alam sehingga tanpa mereka sadari merujuk pada konsep Tuhan juga. Sedangkan Plato dan Aristoteles, telah mengemukakan pendapat yang sudah sampai memikirkan sesuatu realitas di luar alam. Konsep-konsep mereka tentang Tuhan telah tergambar dengan baik sehingga menjadi akar pemikiran filsuf-filsuf selanjutnya. Dari Plato sendiri menamakannya dengan Ide Kebaikan dan Aristoteles menyebutnya dengan Sebab Utama atau Penggerak Yang Tidak Bergerak. Walaupun para filsuf telah mampu mengetahui realitas tertinggi dari semua wujud, realitas itu belum sampai kepada konsep utuh yang diinginkan oleh agama karena Tuhan dalam filsafat masih bersifat impersonal, bukan Tuhan sebagai personal.
Pada prinsipnya, Tuhan yang personal dan Tuhan yang impersonal dapat dibedakan dalam berbagai segi, yaitu :
1. Tuhan personal menekankan pada identitas Tuhan sebagai zat yang sempurna dan perlu disembah sebagai wujud pengabdian makhluk kepada penciptanya. Tuhan impersonal tidak mempersoalkan identitas Tuhan, tetapi yang terpenting adalah ide tentang Tuhan merupakan konsekuensi logis dari keberadaan wujud. Karena itu, Tuhan impersonal tidak disembah dan dipuja.
2. Tuhan personal berasal dari petunjuk wahyu, sedangkan Tuhan impersonal berasal dari kesimpulan pemikiran manusia. Karena itu, Tuhan dalam agama adalah Zat Pencipta dan sekaligus Pemelihara alam. Sedangkan dalam filsafat, Tuhan hanya sebagai Sebab Awal dan tujuan segala wujud.
3. Tuhan personal mengakui bahwa Tuhan adalah Zat yang sama sekali berbeda dengan makhluk. Perbedaan itu terletak pada sifat Tuhan Yang Maha Kuasa, Maha Mengetahui, dan Maha Adil. Karena perbedaan yang begitu besar, makhluk, terutama manusia mempunyai kewajiban untuk mengadakan hubungan baik dengan Tuhan agar sifat-sifat yang begitu baik bisa tersalurkan dalam diri mereka. Hubungan itu dilakukan dengan memperbanyak ibadah dan ritual-ritual keagamaan. Tuhan impersonal tidak mempersoalkan hubungan baik dengan Tuhan itu sebab Tuhan adalah hasil ide manusia saja atau sebuah Zat yang dimensinya terputus oleh dimensi makhlukNya.
4. Tuhan personal menonjolkan perbedaan antara makhluk dengan Tuhan sebagai Pencipta, sedangkan dalam Tuhan yang impersonal berusaha atau tidak memperdulikan perbedaan tersebut dengan menganggap manusia sebagai bagian dari diriNya, bahkan dalam panteisme misalnya, perbedaan antara Tuhan dan makhluk hilang sama sekali.
Pada kenyataannya agama memang bukan filsafat, tetapi menurut Gilson, ajaran agama mengajukan prinsip-prinsip yang kaya akan prinsip-prinsip filsafat. Karena itu, ia dapat membantu perncarian akal terhadap Tuhan. Arogansi akal untuk dapat secara mandiri menemukan Tuhan tanpa sinaran wahyu, adalah sesuatu yang naïf. Dan hal itu telah terbukti dalam pencarian para filsuf Yunani, bahkan ketika Descartes berusaha memisahkan filsafat dari agama.
Terhadap juga gugatan yang sering dimunculkan para saintis, Gilson menilai pernyataan semacam itu muncul karena ketidaksiapan menerima kenyataan bahwa agama dan filsafat (juga sains) adalah dua lanskap yang seharusnya dapat bertemu. Karena sains menjawab pertanyaan tentang bagaimana, sedangkan agama menjawab tentang mengapa. Hanya saja tidak banyak orang yang berani mengakuinya. Para sains atau filsuf kontemporer yang terpikat oleh daya pesona rasio telah kehilangan selera terhadap metafisika dan agama. Sementara yang lain, karena terlalu khusuk dalam berkontemplasi menyadari bahwa metafisika dan agama seharusnya dapat dipertemukan tetapi tidak tahu di mana dan bagaimana. Karena itu ada yang kemudian memisahkan agama dari filsafat, atau meninggalkan agama demi fisafat atau sebaliknya. Padahal hal tersebut, dalam pandangan Gilnson tidak perlu terjadi. Dan menurutnya orang yang dapat melakukan hal itu adalah mereka yang dapat menyatukan bahwa Tuhan filosof adalah Tuhan yang juga dipeluk oleh Ibrahim, Ishaq dan Ya’kub.
B. Kekuasaan Mutlak Tuhan dengan Kebebasan Manusia.
Terdapat dua konsep ekstrem yang menyatakan hubungan Tuhan dan manusia ditinjau dari sifat kekuasaan mutlak Tuhan dan kebebasan manusia. Konsep pertama mengatakan bahwa Tuhan Maha Kuasa, manusia tidak bebas berkehendak dan berbuat, yang dapat disimpulkan bahwa perbuatan manusia sebenarnya adalah perbuatan Tuhan. Dalam bahasa Inggris hal ini disebut predestination (fatalisme). Lalu konsep kedua yang mengatakan bahwa perbuatan manusia kebebasannya sendiri, sedangkan Tuhan hanya berperan menciptakan sifat/daya kebebasan itu pada manusia. Dalam bahasa Inggris hal ini disebut dengan free will.
Baik dalam paham predestination ataupun free will, hampir terdapat di semua agama dan memunculkan persoalan yang selalu dibahas oleh para teolog dan filsuf. Berbagai cara dicari untuk menyelesaikan persoalan tersebut, namun belum ada hasil yang benar-benar memuaskan semua pihak. Dalam teologi Islam terdapat beberapa golongan yang membahas persoalan tersebut seperti Mu’tazilah, Asya’ariah, dan Maturidiah.
Golongan Mu’tazilah pada dasarnya lebih dekat pada paham Qadariah. Al-Jubba’i, salah seorang tokoh Mu’tazilah, berpendapat bahwa manusialah yang menciptakan perbuatannya, manusia berbuat baik dan buruk, patuh dan tidak patuh kepada Tuhan. Pendapat yang sama juga dikemukakan ‘Abd jabbar. Menurutnya, perbuatan manusia bukanlah ciptaan Tuhan pada diri manusia, tetapi manusia sendirilah yang mewujudkan perbuatan itu. Perbuatan dihasilkan dari daya yang bersifat baru, yang sebenarnya bukan perbuatan tuhan. Sehingga Manusia adalah makhluk yang bebas untuk memilih.
Berbeda dengan golongan Mu’tazilah, golongan Asy’ariah berpendapat bahwa perbuatan manusia pada hakikatnya adalah perbuatan Tuhan, hanya saja manusia memiliki kemampuan yang disebut kasb (perolehan). Kasb adalah sesuatu yang terjadi dengan perantaraan daya yang diciptakan dan dengan demikian menjadi perolehan bagi seseorang yang dengan daya itu perbuatannya timbul. Kasb itu sendiri adalah ciptaan Tuhan, sehingga menghilangkan arti keaktifan itu sendiri.
Dalam memahami kehendak mutlak dan keadilan Tuhan, aliran Maturidiah terpisah menjadi dua aliran, yaitu Maturidiyah Samarqand dan Maturidiyah Bukhara. Pemisahan ini disebabkan perbedaan keduanya dalam menentukan porsi penggunaan akal dan pemberian batas terdapat kekuasaan mutlak Tuhan. Kehendak mutlak Tuhan menurut Maturidiyah Samarqand, dibatasi oleh keadilan Tuhan. Tuhan adil mengandung arti bahwa segala perbuatan-Nya adalah baik dan tidak mampu untuk berbuat buruk serta tidak mengabaikan kewajiban-kewajiban-Nya terhadap manusia. Adapun Maturidiyah Bukhara berpendapat bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan mutlak. Tuhan berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya dan menentukan segala-galanya. Tidak ada larangan bagi Tuhan terletak pada kehendak mutlak-Nya tidak ada suatu dzat pun yang lebih berkuasa dari pada-Nya dan tidak ada batasan-batasan bagi-Nya tampaknya aliran Maturidiyah Samarqand lebih dekat dengan Asy`ariyah Al-Bazdaqi mengatakan bahwa Tuhan tidak mempunyai tujuan dan tidak mempunyai unsur pendorong untuk menciptakan cosmos. Tuhan berbuat sekedendak-Nya sendiri. Ini berarti bahwa alam tidak diciptakan Tuhan untuk kepentingan manusia atau dengan kata lain. Konsep lain keadilan Tuhan bukan diletakkan untuk kepentingan manusia tetapi pada Tuhan sebagai pemilik mutlak.
C. Hidup Sesudah Mati
Keadaan sesudah mati adalah misteri di atas misteri karena kematian adalah faktayang setiap manusia akan mengalaminya dan tidak dapat mengetahui (bagi subyek yang berusaha memisahkan diri dari obyek sehingga belum pernah mengalaminya) apa yang terjadi setelahnya.
Misteri mati ini pulalah yang menyibukkan para pemikir mengungkapkan beberapa teori tentang kematian dan implikasinya. Sigmund Freud, ahli psikoanalisis mengatakan bahwa yang paling ditakuti oleh manusia adalah kematian. Karena kematian itu tidak dapat ditolak, dia mencari perlindungan kepada hal yang bersifat supernatural, yaitu Tuhan. Tuhan adalah imajinasi dia sendiri yang seakan-akan dapat membantu menyelesaikan misteri yang paling ditakutinya. Jadi, menurut Freud manusia yang percaya kepada Tuhan adalah manusia yang lemah dan butuh perlindungan kepada zat yang lebih besar.
Sattre, seorang tokoh eksistensialis yang sangat menegaskan kebebasan manusia, akhirnya dia mengakui bahwa manusia tidak bebas lagi ketika menghadapi kematian. Bagi Settre, maut adalah sesuatu yang absurd karena kenyataan bahwa maut tidak bisa ditunggu, melainkan hanya bisa diharapkan akan datang. Tetapi, kapan datangnya maut tidak ada yang dapat memastikannya. Kita tidak memiliki pilihan lain lagi, maut adalah kepastian, yaitu nistanya kita sebagai eksistensi. Dengan kematian, eksistensi berakhir dan kita kembali ke esensi, kata Sattre.
Agama tanpa ada doktrin hidup sesudah mati bagaikan bergantung tali, karena kepercayaan kepada akhirat itu merupakan pegangan dan sekaligus faktor yang mendorong pemeluk agama taat beribadat, berakhlak mulia, dan menjalankan semua perintah Tuhan. Kalau memang kita berbuat baik hanya mengharapkan hasilnya di dunia, seseorang tidak perlu mempercayai adanya akhirat. Akan tetapi setiap manusia sering mendapatkan perlakuan yang tidak adil di dunia sehingga keadaan yang demikian mendorong manusia untuk mencari keadilan ‘sempurna’, sesuatu yang hanya bisa didapatkan di dunia yang ‘sempurna’ juga’.
Dalam filsafat Islam perbincangan tentang eskatologi menjadi sebuah bidang tersendiri sebagai refleksi pengungkapan dimensi-dimensi metafisis dan ketuhanan yang berlandaskan pada ayat-ayat yang termaktub di dalam al-Qur’ān. Walaupun demikian pembahasan tentang eskatologi ini mengundang perdebatan yang sangat krusial di antara para pemikir Islam, filsuf, dan lain sebagainya. Seperti Imam al-Ghazali yang cenderung mengkafirkan para filsuf yang diwakili oleh al-Farabi dan Ibn Sina karena tiga sebab yang salah satunya adalah persoalan eskatologis.
Salah satu contoh filsuf islam, Ibn Sina berpendapat bahwa jiwa manusia diciptakan bersamaan dengan jasad, tetapi jiwa itu bersifat kekal. Ia juga berpendapat bahwa sesuatu yang dirusak dikarenakan oleh faktor lain maka sudah sepatutnya juga ia bergantung padanya. Namun, jiwa terpisah wujudnya dari jasad karena tidak mungkin jiwa tergantung pada tubuh, sedangkan jiwa telah ditetapkan sebagai esensi yang berdiri sendiri. Jiwa juga tidak mendahului jasad karena kalau kiwa mendahuluinya terkesan jasad yang menyebabkan jiwa, dan jiwa seakan-akan ada untuk mengabdi pada jasad. Jadi, dalam hal ini tidak ada hubungannya dengan kausalitas. Hubungan jasad dengan jiwa menurut Ibn Sina bukan hubungan korelatif atau keharusan, melainkan hubungan tuan dengan hambanya atau antara pemilik dengan miliknya. Pemilik tidak akan terpengaruh walaupun miliknya berubah. Jiwa adalah yang memerintah dan jasad yang diperintah, bukan kebalikannya.